Kisah Sang Bidadari dalam Kehidupan Orang Rimba

By , Minggu, 20 April 2014 | 15:00 WIB
()

“Saya sudah lelah diwawancarai, menjawab pertanyaan yang itu-itu saja. Oh, mau ikut masuk rimba? Bagus! Sedikit bertanya, banyak melihat!” Begitulah awal perkenalan saya dengan Saur Marlina “Butet” Manurung, guru pendidikan alternatif bagi Orang Rimba, yang dulu dikenal sebagai suku Anak Dalam atau Kubu di Taman Nasional Bukit 12 dan Bukit 30, Jambi. Empat hari tiga malam, 25-28 Maret 2004, mengikuti Butet ke Bukit 12, saya sadar mengapa ia jatuh cinta pada Orang Rimba. Anak-anak itu memang memiliki semua yang diimpikan guru. Cerdas dan tetap semangat!

Tegas, siap membantu, terencana tapi lentur untuk perubahan karena keadaan diperlihatkan Butet Manurung sejak awal. Per e-mail, ia berikan daftar terinci dan biaya transportasi, penginapan, perlengkapan hidup di hutan dan bahan kontak (oleh-oleh untuk membuat kita “dekat” dengan Orang Rimba, berupa sarung, rokok, permen, biskuit, gula, kopi, teh, alat tulis-menulis). 

Saya menemui lagi Butet di Jambi, selang dua minggu dari penobatannya  sebagai Women of the Year 2004 bidang pendidikan dari ANteve. “Aku main dulu dengan teman-teman di Jakarta, lalu ke Yogya mengurus persiapan pembentukan Sokola, Komunitas Pendidikan Alternatif bagi Masyarakat di Hutan Indonesia dengan modul yang bisa dipakai oleh semua suku asli. Aku juga sudah rindu murid-muridku, mereka menelepon, kapan aku pulang. Biasanya kan aku tiga minggu di rimba, dan hanya seminggu ke Bangko atau Jambi lalu balik ke rimba,” tuturnya. Hampir dua bulan sebelumnya, ia jadi penerjemah lalu-lintas radio di kapal Rainbow Warrior milik Green Peace, lembaga swadaya masyarakat lingkungan internasional saat merapat di Indonesia.  

Kami terpaksa menginap dua malam di Bangko, kota kecil terdekat, 60 kilometer dari rimba Bukit Duabelas, enam jam perjalanan travel dari Jambi, karena sulit mendapat jeep 4x4 sewaan. “Aku sendiri sih sudah biasa ngeteng naik angkot, ojek motor sampai desa Satuan Pemukiman Transmigrasi G (SPG), lalu jalan kaki 3—4 jam ke tepi rimba sambil bawa empat ransel,” katanya, yang tentu terlalu berat bagi saya yang membawa banyak perlengkapan, termasuk tiga kamera, “Di rimba, bisa lebih tak pasti lagi. Kita bisa bertemu Orang Rimba dari jalan kaki 15 menit sampai dua hari. Maklum, mereka kan semi nomaden, sering berpindah.”

Ini bukan apa-apa dibandingkan tantangan Butet di masa perintisan. Medio 1999, saat jenuh menjadi pemandu wisata di Taman Nasional Ujung Kulon, sebuah iklan di harian Kompas dari LSM Warung Informasi Konservasi (Warsi) menyentilnya. Dicari: fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli Orang Rimba, Jambi. Mungkin inilah yang kucari, batin pemegang dua gelar kesarjanaan – Sastra Indonesia dan Antropologi – dari Universitas Padjajaran Bandung ini.

“Aku menganggap keterlibatanku sebagai relawan, bukan pekerjaan,” kenang Butet, “Gajiku toh tak seberapa, dan tak apa-apa kalau tak digaji. Niatku hanyalah, bisa berguna bagi orang lain, mengamalkan ilmuku, minatku pada alam dan kecintaanku pada anak-anak.”

Butet Manurung bersama anak muridnya dari Orang Rimba, masyarakat yang menempati belantara Sumatra (Aulia Erlangga).

Padahal, tantangan begitu berat. Sebelum Butet, dua fasilitator pertama mengundurkan diri dan yang ketiga, Yusack Adrian Hutapea, sebenarnya sudah mulai diterima Orang Rimba, sedihnya, ia meninggal karena malaria.

“Aku pun terjangkit malaria sampai kini, sebulan sekali kambuh, dan berat badanku turun tujuh kilo.”

Tujuh bulan pertama dipakai Butet untuk meriset pola pengasuhan anak, hubungan orangtua—anak dan antaranak, pola marah orangtua atau anak, sistem pengetahuan lokal, yang sambil berjalan ingin pula menerapkan proses belajar yang khas dan khusus diciptakan dan disesuaikan untuk Orang Rimba.

Di tiga hari berikut, kami singgah di dua tempat, berjalan 30 menit dari tempat pertama, dan 1,5 jam dari tempat kedua, selalu di tepi sungai,

mendirikan tenda, menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam sambil belajar-mengajar. Waktu memang sangat lentur karena intinya belajar sambil bermain dan bekerja. Di malam pertama, Mendaway dan Ngetepi tak ikut belajar karena akan  nyuluh  (berburu) kancil dulu. Sementara Priso (5 tahun), pukul 05.00 pagi sudah menunggu dengan buku tulis dan pensil ketika gurunya bahkan belum bangun.

“Ruang” belajar adalah selembar perlak, yang sebagian dipenuhi ransel, beratap perlak disangga ranting di rindang pepohonan. Semua dari alam sekitar. Gentar, misalnya, dulu bikin kapur tulis dari tanah lempung dan memanfaatkan balok kayu yang ditinggalkan penebang liar. “Dia juga guru bagiku,” kata Butet.

Anak yang baru belajar baca-tulis-hitung maupun yang sudah mahir, belajar bareng. Kalau sedang mengenalkan huruf pada si kecil, kakak-kakaknya akan diberi tugas hitungan sulit, misalnya 1.247.580 kali 396. Mereka mengomel, tapi dikerjakan juga.