Sepanjang dua tahun terakhir, ranger komunitas di 18 lokasi di 6 kabupaten di Aceh melakukan patroli hutan. Patroli yang dilaksanakan berhasil menurunkan tekanan dan ancaman terhadap kawasan hutan, tapi posisi ranger terancam dan tekanan konversi lahan terus terjadi.
"Setidaknya 97 persen temuan jerat yang ada di kawasan hutan Ulu Masen sudah dihancurkan pada 2013", kata Munawar Kholis, Biodiversity Monitoring Specialist FFI Aceh.
Intensitas temuan pembalakan kayu juga mengalami tren penurunan. Menurut Kholis, setidaknya rata-rata 3,75 kali temuan logging per patroli pada Juli 2012 sudah berkurang menjadi 0,25 kali temuan pada Desember 2013.
"Pada awal 2013, ranger menemukan lebih dari 200 titik temuan logging dan di akhir 2013 sudah berkurang menjadi 100 titik temuan. Keberadaan ranger di lapangan memberikan kontribusi atas penurunan angka ini," imbuhnya.
Kholis menerangkan, SMART (Spatial Monitoring and Reporting Tool) dipergunakan untuk melihat tren pengambilan kayu di hutan, tren perburuan dan ancaman terhadap spesies kunci, penanggulangan dini atas konflik satwa – manusia dan penanggulangan bencana kebakaran hutan.
SMART merupakan perangkat lunak yang dikembangkan oleh beberapa LSM untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi. "Ranger komunitas secara swadaya didorong untuk melakukan patroli hutan dan datanya dapat diolah dengan perangkat lunak ini," kata Kholis.
"Secara sederhana, siklus monitoring dilakukan dengan melakukan patroli lapangan. Selanjutnya, hasil patroli diinput kedalam perangkat lunak SMART. Perangkat lunak ini kemudian melakukan analisa data secara otomatis lalu laporan akan dihasilkan dengan sendirinya, termasuk titik lokasi kejadian kejahatan kehutanan, intensitas, waktu dan lainnya. Laporan inilah yang kemudian dapat digunakan oleh aparat penegak hukum sebagai landasan penegakan hukum," papar Kholis.
Bila ada temuan, menurut Kholis, intervensi penyelesaian kasus utamanya dilakukan melalui musyawarah di tingkat desa atau mukim sebelum dibawa ke proses penegakan hukum formal.
Sebelum melakukan patroli hutan, para ranger sudah dibekali dengan berbagai keterampilan seperti search and rescue, navigasi darat, patroli monitoring, survival, identifikasi keragaman hayati serta keterampilan lapangan lainnya.
Di lapangan, tim ranger juga melakukan pemusnahan terhadap jerat yang dipasang oleh pemburu. Jerat, kata Kholis, menjadi ancaman besar bagi penurunan populasi keragaman hayati, selain ancaman utama konversi lahan.
Terutama untuk spesies kunci seperti harimau sumatera dan gajah sumatera, keduanya membutuhkan upaya lebih. "Melindungi spesies ini juga berarti mempertahankan habitatnya," katanya.
Kholis menjelaskan, pengamanan kawasan berbasis patroli SMART baru dilaksanakan di kawasan hutan Ulu Masen, belum menyentuh kawasan lainnya di Aceh.
"Selain lingkup kawasan masih terbatas, ranger juga mengalami kendala karena dukungan sumberdaya termasuk dana dan peralatan. Sejauh ini, FFI Aceh yang memfasilitasi kebutuhan patroli. Tapi kedepan, laiknya pemerintah, terutama instansi penegak hukum serta balai konservasi sumberdaya alam, perlu mendukung upaya ini," papar Kholis.
Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Drs. Andi Basrul, menekankan perlunya upaya penegakan hukum. Hasil patroli, menurut Andi, selayaknya sudah menjadi konsumsi aparat penegak hukum sehingga dapat ditindak lanjuti.
"SMART patroli memungkinkan respon yang cepat. Tapi perlu dikembangkan lebih jauh agar respon memang betul-betul dapat dipastikan," kata Andi pada ekspos SMART Patrol Ranger di BKSDA Aceh, 10 Februari 2014.
Menurut Andi, Balai Besar TNGL saat ini sudah mengadopsi SMART dan sedang diimplementasikan di 32 resort sejak awal 2014.
"Informasi dari tim patroli lapangan harus disampaikan dengan cepat? Kalau tidak, kita akan selalu terlambat," tandasnya.
Ekspos SMART Patrol Ranger di BKSDA Aceh dihadiri oleh berbagai kalangan yang terlibat konservasi kawasan hutan aceh seperti LSM, Dinas kehutanan Provinsi dan Kabupaten, serta perwakilan ranger dan mukim.
Sementara itu, Sekjen Federasi Ranger Aceh, M. Yakob Ishadamy, menyerukan adanya kerjasama antar pihak. "Federasi belum bisa banyak berbuat pasca dibentuk akhir tahun 2013 lalu. Karena itu, kita perlu menyebarluaskan inisiatif ini kepada berbagai pihak," katanya.
Kekuatan ranger, justru karena mereka ada di lapangan. Mereka sangat paham kondisi lingkungannya. "Jadi informasi yang mereka sampaikan, kami percaya itu valid", imbuh Yakob.
Yakob juga mendorong adanya mekanisme pelaporan kejahatan kehutanan. Sejauh ini, pelaporan yang dilakukan oleh ranger justru mengancam keberadaan ranger itu sendiri karena kejahatan bidang kehutanan merupakan kejahatan yang terorganisir. Para ranger di lapangan butuh jalur pelaporan yang tidak mengancam keselamatan mereka.
"Saat ini, hutan Aceh seperti tanpa tuan rumah. Setiap orang atau lembaga begitu bebasnya mengeroyok hutan Aceh. Pemerintah perlu memimpin koordinasi antar pihak agar upaya konservasi hutan Aceh dapat berjalan dengan baik dan terstruktur," papar Yakob.
Pemerintah, katanya, juga harus tegas dalam melakukan penegakan hukum serta memproduksi kebijakan daerah. Fakta lapangan menunjukkan, masyarakat masih terancam dengan berbagai perizinan konversi lahan, termasuk untuk usaha perkebunan besar dan tambang.