Mencatat Gaya Kelud

By , Kamis, 13 Februari 2014 | 17:30 WIB

Jumlah gempa di Gunung Kelud meningkat. Suhu di puncaknya meningkat, hewan turun dari puncak. Suhu air danau kawah meningkat hingga 56,4 derajat Celcius. Dari jejak sejarah letusan, tahun 1990 suhunya mencapai 41 derajat Celcius.

Apa yang bakal terjadi dengan Kelud? Apakah akan terjadi letusan besar yang menelan korban banyak seperti bencana tahun 1919 (tercatat 5.160 jiwa)?

Sebagian orang mencatat bahwa letusan membawa kisah lain, yang dikaitkan dengan gerak kosmologi. Letusan Kelud menandai suatu peristiwa besar di negeri ini. Peristiwa vulkanik Kelud membawa perubahan signifikan dalam sejarah. Kelud –di samping Gunung Merapi di Yogyakarta—adalah gunung-gunung yang “karismatik”.

Itu sepenggal kesimpulan dari perbincangan dengan mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono, Rabu (12/2).  

Gunung Kelud yang mulai tercatat letusannya sejak tahun 1000, sebagaimana termuat dalam buku Data Dasar Gunung Api Indonesia (ESDM, 2011), menunjukkan perubahan sifat sejak 1000 sampai 1864, dengan 26 kali erupsi, walau tidak jelas sifat erupsinya. Namun berdasarkan catatan tentang letusan 1901, ia bersifat eksplosif.

Setelah 37 tahun tenang, gunung ini meletus dengan memuntahkan sekitar 200 juta ton meter kubik material padat. Letusan Merapi di 2010 melontarkan sekitar 150 juta meter kubik material vulkanik.

Volume air danau kawah mencapai 38 juta meter kubik sebelum meletus. Volume air dikurangi dengan menggali lereng barat untuk mengalirkan keluar air danau kawah—hanya mampu mengeluarkan 4,3 juta meter kubik air.

Sejak itu hingga letusan pada 1991, karakter gunung yang tapaknya berada di Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Kediri ini yaitu selalu melepas energi besar melalui letusan eksplosif.

Surono, yang melakukan penelitian pada Gunung Kelud menuturkan, pada 2007 lalu merupakan anomali bagi Kelud. Gunung api yang sekitar 100 tahun terakhir meletus eksplosif tanpa diduga menunjukkan aktivitas letusan efusif.

Tak ada entakan dengan energi besar yang melontarkan material padat dalam jumlah besar. Hanya gas dan uap yang ‘merembes’ keluar.

Rupanya terjadi kebocoran emisi gas sejak April 2007 sampai akhir September 2007. Puncak aktivitas terjadi 16 Oktober 2007, ditandai dengan 306 kali gempa dangkal—menunjukkan adanya gerakan “menusuk” ke permukaan.

Ketika itu terjadi perubahan warna air danau, bermacam-macam, kuning ke hijau, cokelat atau kemerah-merahan, kata Surono. Ini mengindikasikan tingginya kadar gas. Surono kemudian menghentikan pengukuran karena situasi amat berbahaya.

“Karena gas dan uap telah merembes melalui retakan, Kelud kehilangan daya dobrak. Gasnya sudah keluar duluan,” katanya.