Dengan berpatokan bahwa ancaman Kelud membesar seiring dengan besarnya volume air kawah, Belanda berupaya membuat saluran air guna mengurangi volume danau itu.
Kusumadinata (1979) mencatat, pada 11 Juli 1907, Belanda berupaya membuat saluran air di lereng barat Kelud. Dampaknya, tinggi muka air kawah turun 7,4 meter dan isi air berkurang 4,3 juta meter kubik. Pada tahun 1919, penggalian terowongan dilanjutkan. Air dari terowongan rencananya akan dialirkan ke arah Kali Bladak atau sering disebut Kali Badak.
Namun, pekerjaan terhenti karena terowongan ini runtuh. Pembuatan terowongan dimulai lagi pada 1923 dengan menggali 7 terowongan pembuangan utama dan beberapa saluran sekunder. Pembangunan ini sukses mengurangi volume air danau dari 40 juta meter kubik menjadi hanya 1,8 juta meter kubik.
Seluruh terowongan itu rusak dan tersumbat saat Kelud meletus tahun 1951. Garis tengah danau yang semula 500 meter menjadi 700 meter, volume air danau pun bertambah menjadi 23,1 juta meter kubik. Pada tahun 1953, pekerjaan perbaikan terowongan kembali dimulai dan selesai pada tahun 1955. Tahun 1966 dibangun terowongan Ampera sepanjang 20 meter. Dengan terowongan Ampera, volume air danau menjadi 4,3 juta meter kubik.
Namun, pada akhir 2007, raut Kelud berubah total. Danau kawah Kelud yang jadi ciri khas gunung ini dan diperkirakan telah berusia 2.400 tahun itu menghilang. Kelud pun sudah tidak bisa disebut 'kelud'—PVMBG menyebutnya Kelut. Tidak ada lagi danau kawah yang menyapu saat letusan.
Nama Kelud—dalam bahasa Jawa sapu—dilekatkan ke gunung api ini karena saat meletus menyemburkan lahar letusan, lalu menyapu desa-desa di lerengnya.
Perubahan karakter, bahkan identitas gunung ini, telah membuka masalah baru. Sebelumnya, PVMBG menggunakan perubahan suhu dan warna air danau Kelud untuk memantau aktivitas gunung ini, karena gunung ini juga irit mengirim gempa saat krisis. "Kami harus memikirkan cara lain untuk memantau Kelud karena danaunya sudah diganti kubah lava," kata Surono kala itu.
Hujan batu
Kubah batu yang menyumbat kawah Kelud inilah yang menakutkan Surono saat menemani perjalanan tim Ekspedisi Cincin Api Kompas dua tahun silam. "Sulit membayangkan jika kubah lava ini terlontar seketika saat Kelud meletus karena energi letusan Kelud yang sangat eksplosif," katanya. Skenario terburuk bisa saja terjadi jika aliran magma tak kuat menjebol sumbat lava, lalu menjebol titik lemah lain di lereng Kelud, di dekat permukiman.
Untung saja skenario terburuk itu tak terjadi. Daya eksplosif Kelud berhasil membongkar kubah batu dan meontarkannya menjadi hujan batu kerikil, hingga abu yang memenuhi hampir seluruh Pulau Jawa.
Selain itu, Keputusan Kepala PVMBG Hendrasto untuk mengosongkan kawasan dalam radius 10 km dari kawah Kelud sebelum Kelud meletus layak diacungi jempol. Keputusan itu tentu tak gampang dibuat mengingat pada 2007, PVMBG pernah mengevakuasi warga di sekitar Kelud hingga berbulan-bulan, namun gunung ini kemudian tak meletus eksplosif sehingga banyak pihak yang mencibir keputusan itu. Surono pernah merasakan pahitnya cibiran saat dia mengevakuasi warga, termasuk seluruh stafnya dari Pos Pemantauan Kelud pada 2007.
Nyaris saja! Selain perubahan karakter Kelud yang berubah tak gampang terbaca, alat-alat pemantauan gunung api Indonesia sebenarnya masih sangat minim. Saya pun teringat dengan pengakuan Surono dalam beberapa kali perjumpaan. Dari 127 gunung api, baru separuhnya yang dipantau intensif. Surono mengibaratkan proses pemantauan gunung api di Indonesia seperti menaruh anak kecil di pinggir kolam. "Kalau kita lengah, pasti masuk kolam. Kalau selamat, bisa dibilang karena kebetulan," katanya Surono.
Letusan Kelud kali ini sekali lagi mengajarkan pentingnya menyadari posisi Nusantara yang dilingkari Cincin Api, yang menuntut kita untuk terus bersiaga. Apalagi, karakter dan sifat gunung juga bisa berubah. Gunung api adalah organisme Bumi yang hidup. Mereka lahir, tumbuh, tertidur, mati, lalu terbangun, dan meletus.
Gunung api terus berevolusi. Begitu pula seharusnya kita yang hidup di sekelilingnya...