Jejak kemiskinan tiada tampak di Desa Patihan, Kecamatan Babat, Lamongan, Jawa Timur. Desa yang dulu tertinggal itu kini tumbuh. Rumah-rumah mentereng dengan mobil dan sepeda motor di setiap garasinya.
Itu berkat kerja keras warga desa yang berjualan soto dan pecel lele.
Dua-tiga dekade lalu, Patihan masuk daftar desa miskin. Rumah dibangun seadanya, dengan dinding kayu dan gedek alias anyaman bambu. Kini wajahnya telah berubah. Perubahan serupa terlihat di Desa Siman, Kecamatan Sekaran.
Apa yang membuat desa-desa itu sanggup berganti wajah? Jawabannya: soto serta aneka pecel, seperti pecel ayam, bebek, telur, dan lele.
Menu harian yang umum dijual di warung-warung tenda pinggir jalan itulah yang membalik nasib mereka. Para pengusaha soto dan pecel ini setelah sukses pasti kembali ke desa — untuk membangun rumah, membeli sawah, mobil, naik haji.
Tengoklah Elis Rita Rosiana (22) yang membuka warung pecel lele dan menu laut nun jauh di Barabai, Kalimantan Selatan. Hanya dalam waktu tiga tahun berjualan pecel, ia bisa membangun rumah baru di desanya.
Awal Januari, Elis khusus mudik untuk melihat proses pengerjaan rumah barunya yang cukup besar. "Rumah ini untuk ditempati orang tua saya," aku Elis.
Monumen kesuksesan
Rumah, sawah, mobil, dan sepeda motor seolah jadi monumen menunjukkan kesuksesan para perantau di desa asal mereka.
Monumen kesuksesan itu menyilaukan mata warga lain yang masih bergelut dengan kemiskinan. Mereka pun tertarik mengikuti jejak perantau yang telah sukses berjualan soto dan pecel.
Biasanya mereka ikut magang dulu di warung milik warga sedesa di tanah rantau. Setelah punya cukup modal, mereka membuka warung sendiri, mengumpulkan uang untuk membeli rumah, mobil, tanah di desa.
Begitu seterusnya. Maka, gelombang perpindahan penduduk dari desa-desa di Lamongan ke sejumlah kota di Indonesia tidak terbendung.
Kepala Desa Patihan, Hadi Kuswanto, mengatakan dari 2.600 warga, 700 orang di antaranya merantau.
Ogah bertani
Tenaga kerja lokal pun semuanya terserap ke bisnis soto dan pecel.
"Buat kami, bertani sudah tidak menarik lagi. Risikonya besar, hasilnya tidak seberapa. Kalau zaman dulu masih bisa hidup sebab orang cukup bisa makan dan pakai baju. Sekarang anak kami mesti kuliah, pakai handphone, dan memenuhi kebutuhan lainnya.
Pilihan untuk sukses buat anak muda dari Lamongan ada dua, lewat pendidikan atau dagang," ujar Ahmad Junaedi (51), warga Plososetro yang berdagang soto dan lele di Jakarta sejak 1985.