Kaitan antara keberadaan gunung api dan kepadatan penduduk ini telah disebutkan oleh ECJ Mohr, dalam The Relation Between Soil and Population Density in The Netherlands Indies (1938).
Profesor ilmu tanah dari Universitas Utrecht, Belanda yang melakukan penelitian di Jawa pada 1930-an ini menyimpulkan bahwa tingkat kepadatan penduduk di Indonesia di masa lalu ditentukan oleh keberadaan gunung api.
Semakin banyak gunung api aktifnya, kian padat penduduknya. Dengan teori ini, dia menjelaskan soal kepadatan penduduk di Pulau Jawa dibandingkan pulau lain di Nusantara.
Tanah-tanah tersubur di Jawa berada di dekat gunung yang tanahnya tertutup abu letusan muda. Utamanya di lembah gunung yang berlimpah air dan cahaya matahari sehingga sangat cocok untuk membudidayakan tanaman.
Mitigasi bencana
Gunung api di Indonesia tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Tak terkecuali Kelud. Maka, yang harus dilakukan kini adalah bagaimana melakukan adaptasi untuk hidup bersama Kelud, karena gunung ini rutin meletus. Letusannya pun eksplosif dan mematikan.
Pemetaan kepurbakalaan di Kediri oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional bersama Universitas Gadjah Mada pada 1987 menyimpulkan, Kerajaan Kadiri (Panjalu) sering terganggu letusan Gunung Kelud. Selain dampak langsung dari letusan, Kerajaan Kadiri juga terdampak dari banjir lahar Kelud yang dibawa Sungai Brantas.
Kesimpulan itu dibuat setelah tim yang didukung Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan tersebut menyurvei lima situs di sekitar Kediri. Kelima situs itu adalah Lirboyo, Botolengket, Totok Kerot, Sebanen, dan Semen.
Di kawasan ini, peneliti menemukan tembikar, keramik, pecahan genteng dan terakota, serta bekas bangunan lama yang terkubur endapan material gunung api berupa abu, pasir, dan kerikil. Jejak mematikan dari Kelud tercatat saat gunung ini meletus pada 1919 yang menewaskan 5.110 orang.
Pada 1586, letusan Kelud bahkan disebut menewaskan tak kurang dari 10.000 jiwa. Berikutnya, Kelud yang meletus pada 1951, 1966, dan 1990 selalu menyebabkan jatuhnya korban jiwa walaupun tak sebanyak pada 1919 atau 1586.
Di masa lalu, sebagian besar korban jiwa di Kelud jatuh karena tersapu lahar letusan. Kawah Gunung Kelud yang terisi air menyebabkan letusan dari magma memuncratkan air dan menyapu desa-desa di sepanjang aliran sungai yang berhulu di kawah ini.
Letusan Gunung Kelud pada Kamis (13/2/2014) tak lagi demikian. Lahar letusan tak terjadi karena sejak 2007 danau kawah Kelud telah menghilang, berganti dengan munculnya kubah lava.
Namun, bahaya Kelud kali ini tetap tidak hanya berasal dari letusan primernya. Banjir lahar hujan tetap merupakan ancaman, dari banyaknya batuan vulkanik yang dikeluarkan gunung ini saat meletus.
"Saat ini Kelud kembali ke karakter lamanya yang eksplosif," kata geolog dari Badan Geologi, Indro Pratomo. "Namun, letusannya ke depan masih sulit diramalkan."
Bagaimana antisipasi bahaya Kelud ke depannya, menurut Indyo, harus didahului dengan riset-riset terpadu dan mendalam. Inilah tantangan di antara berkah dan bahaya letusan Kelud.