Siapa pun tahu, pada rentang 1998 sampai 2002, pembalakan liar mengoyak belantara negeri ini. Saat itu kayu-kayu liar beredar di pasar domestik dan internasional.
Hal ini mendorong kesadaran bersama bahwa ada persoalan serius menyangkut sektor tata kelola kehutanan. Tak hanya penting buat Indonesia sebagai negara produsen, tetapi juga negara konsumen—di pasar Asia maupun Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Australia.
Artikel Janet Larsen dalam Illegal Logging Threatens Ecological and Economic Stability bisa menyegarkan kembali ingatan ihwal peredaran kayu haram yang malang melintang di pasar global saat itu.
"Amerika Serikat Uni Eropa diduga menerima kayu-kayu liar dari hutan tropis," tulis Larsen. Pada tahun 2000 saja, AS mengimpor kayu senilai lebih dari US$450 juta dari Indonesia, yang US$330 juta ditengarai dari sumber gelap.
Larsen juga melaporkan, negara G-8 dan sebagian Uni Eropa, membeli 280 juta meter kubik kayu saban tahun, sebagian besarnya dari sumber tidak jelas. Inilah masa gonjang-ganjing. Kayu gelap membanjiri pasar lintas-negara yang membuat Indonesia serbasalah.
Tetapi sekarang Indonesia melakukan rebranding perdagangan kayunya. Produk-produk yang sahih, legal, resmi, absah, menguatkan image kayu Indonesia yang bermartabat. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang berlaku mulai September 2009, membuka layar bagi panggung kayu legal Indonesia.
Indonesia memang telah menerapkan sertifikasi pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHPL) sejak 2002 dan hutan tanaman pada 2003. Hanya saja, sertifikasi hutan lestari ini tak terlalu berkembang. Sebab indikator dan kriterianya yang cukup banyak, menyulitkan. (Lebih lanjut, kisah geliat hutan rakyat dapat dibaca di sini)
Maka lalu dikembangkan terlebih dahulu sistem yang, paling tidak, memastikan legalitas kayunya.
Optimisme akan masa depan cerah SVLK tercermin dalam kunjungan delegasi Uni Eropa meninjau kesiapan para pelaku usaha kayu furnitur, di Jepara, pada akhir bulan Januari lalu.
Berkat fasilitasi dan pelatihan yang dilakukan terhadap unit usaha kecil menengah (UKM) untuk meningkatkan kapasitas, mulai terdorong iklim dunia usaha produk dan jasa ramah lingkungan. Dan sedikit demi sedikit, para usahawan yang bergerak di bidang industri permebelan dan kerajinan tangan itu menerapkan peraturan legalitas kayu melalui SVLK.
Yang perlu digarisbawahi juga adalah pentingnya peranan masyarakat madani dalam menentukan integritas SVLK. Bukan hanya pemerintah, melainkan kita perlu keteguhan semua pihak dalam mengawal sistem verifikasi ini. Kalangan masyarakat madani telah berperan semenjak sistem ini masih berupa semata gagasan.
Sertifikasi kelompokI Ketut Alit Wisnawa dari Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) mengatakan, ASMINDO sebagai asosiasi mewadahi para anggotanya dari pengusaha industri permebelan dan kerajinan serta bahan baku dan barang setengah jadi, baik yang industri kecil (45%), menengah (35%), maupun besar (20%).
Mereka melakukan kerja sama dengan berbagai lembaga dalam memfasilitasi UKM mendapatkan SVLK. Kini kejelasan target sudah dimiliki: wajib rampung di akhir tahun 2014. Dan mereka bertekad nantinya pada 2015, 100 persen UKM sudah memegang lisensi SVLK.