Ketahuilah, Lima Alasan Pesan Viral "Save Ciremai" Menyesatkan

By , Selasa, 4 Maret 2014 | 20:00 WIB

Sudah nge-tweet tentang masalah eksplorasi geotermal Ciremai dengan hastag #SaveCiremai? Bila sudah, Anda perlu berpikir lagi. Konten dalam pesan itu menyesatkan.

Pesan yang awalnya disebarluaskan lewat BlackBerry Messenger (BBM) itu berisi informasi bahwa Ciremai telah dijual kepada Chevron, perusahaan energi Amerika Serikat, seharga Rp 60 triliun.

Informasi lain adalah bahaya pemanfaatan geotermal atau panas bumi yang dikatakan bisa memicu keluarnya gas beracun.

Gas seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), amonia (NH3), dan hirogen sulfida (H2S) akan menambah emisi serta memperparah perubahan iklim.

Pembangunan pembangkit juga merusak stabilitas tanah. Ada gempa minor yang akan menyebabkan gunung meletus. Sementara, pasokan air juga dikatakan akan berkurang.

Keterangan yang didapatkan dari pihak Chevron mengungkapkan bahwa Chevron memang telah berhak mengeksplorasi geotermal di Ciremai, namun tak membeli wilayah Ciremai.

Seperti diberitakan Kompas.com, Selasa (4/3), Chevron mengikuti tender pada tahun 2012 lalu dan pada Januari 2013 memenangkan tender. Meski sudah memenangkan tender, Chevron belum memulai akivitas eksplorasi.

Kedua, tentang gas keluarnya gas beracun yang bisa memperparah masalah perubahan iklim, Arif Fiyanto, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan bahwa hal itu tak benar.

"Keluarnya gas itu, kalau ada, jumlahnya sangat sedikit dan tidak signifikan untuk perubahan iklim," kata Arif.

"Kalau kita bandingkan dengan emisi dari pembangkit listrik dari batu bara, jumlahnya kurang dari 1 persen," imbuhnya.

Tentang berkurangnya pasokan air, Arif mengungkapkan bahwa pemanfaatan geotermal telah dilakukan di beberapa wilayah dan sampai saat ini belum ada laporan tentang kekurangan pasokan air.

"Justru untuk memanfaatkan geotermal, kita memerlukan air," ungkap Arif. Agar geotermal bisa dipanen, kondisi ekosistem harus baik.

Lalu, apakah pemanfaatan geotermal bisa mengganggu kestabilan tanah? Rocivky Dwi Putrohari dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) mengatakan tidak.