Menengok Kembali Kisah "Alcatraz" di Selatan Jawa

By , Sabtu, 8 Maret 2014 | 13:20 WIB

Tanggal 20 Mei 1982, Johanes Hubertus Eijkenboom, gembong perampok yang tenar dipanggil Johnny Indo, bersama 34 narapidana lain kabur dari Lembaga Pemasyarakatan Permisan di ujung barat Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Setelah bertarung 12 hari menembus hutan perawan, penuh jurang dan binatang buas, dia pun menyerah.

Itu sekelumit kisah pelarian Johny Indo dalam buku Johny Indo: Tobat dan Harapan (1990). Kisah narapidana (napi) itu mengukuhkan pulau ini sebagai penjara "Alcatraz" di Indonesia. Alcatraz adalah pulau penjara dengan tingkat keamanan maksimal di Teluk San Francisco, Amerika Serikat, yang ditutup tahun 1963.

Tak berlebihan membandingkan Nusakambangan dengan Alcatraz. Terpisah selat yang dalam dengan daratan Pulau Jawa, alam Nusakambangan kian sangar dikurung belantara hutan tropis. Pulau itu juga menjadi habitat hewan buas, seperti macan tutul dan ular berbisa. Oleh sebab itu, hingga kini, Nusakambangan menjadi rujukan bagi napi kelas kakap, mulai dari kasus pembunuhan, perampokan, terorisme, hingga korupsi.

Selain Johny Indo, beberapa figur menonjol yang pernah menghuni Nusakambangan adalah Kusni Kasdut, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), M Bob Hasan, Fabianus Tibo (terpidana kasus pembunuhan di Poso, Sulawesi Tengah), serta napi kasus terorisme, seperti Amrozi, Imam Samudra, dan Mukhlas. Tahun 1965-1970, Nusakambangan pernah menjadi tempat pembuangan sementara hampir 10.000 orang yang diduga terlibat dalam gerakan komunis dan pemberontakan 30 September 1965, termasuk novelis Pramoedya Ananta Toer.

Selain sebagai penjara, pulau ini juga menjadi lokasi eksekusi bagi terpidana mati. Salah satu lokasi yang sering menjadi tempat eksekusi adalah Lembah Nirbaya, sebuah dataran luas di tengah pulau. Menurut beberapa petugas LP di Nusakambangan, area itu dikenal angker.

Saat Kompas memasuki Nusakambangan beberapa waktu lalu, pemeriksaan sangat ketat dimulai sejak hendak menyeberang dari dermaga Wijayapura. Penyeberangan itu butuh waktu 10 menit dengan kapal khusus milik Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Di Nusakambangan, setiap LP terhubung jalan aspal. Setiap penjara itu dikelilingi pagar kawat berduri dan dialiri listrik.

Sebagian lahan di Nusakambangan juga dimanfaatkan untuk perkebunan karet dan buah-buahan yang dikelola koperasi pegawai LP. Beberapa napi ikut berkebun atau beternak. Pengunjung bisa membawa cendera mata berupa batu akik karya napi.

Awalnya benteng

Jauh sebelum menjadi pulau penjara, saat Belanda menguasai negeri ini, Nusakambangan dinilai sebagai lokasi yang strategis untuk dijadikan benteng pertahanan. Benteng itu untuk menangkal serangan dari arah laut selatan dan daratan Jawa.

Selat Segara Anakan yang bergelombang tenang karena terhadang Nusakambangan juga memungkinkan kapal merapat ke Pelabuhan Cilacap, Tanjung Intan. Pemerintah Hindia Belanda membangun Benteng Karang Bolong dan Benteng Klingker pada tahun 1837-1855.

Dalam buku Pengkajian dan Penulisan Upacara Tradisional di Kabupaten Cilacap oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng (2010), dua benteng itu dibangun Belanda menggunakan tenaga napi yang didatangkan dari beberapa penjara di Jawa.

Inilah yang menjadi titik awal masuknya napi ke pulau ini. Keberhasilan Belanda melakukan pengawasan dan pengamanan terhadap napi dipakai sebagai dasar penetapan pulau itu sebagai penampungan orang hukuman atau penal colony.