Fosil Spesies Kiwi yang Punah Ditemukan di Pulau Utara Selandia Baru

By Ricky Jenihansen, Rabu, 15 September 2021 | 09:00 WIB
Burung kiwi (Pinterest)

Nationalgeographic.co.id—Para ahli paleontologi melaporkan telah mendeskripsikan spesies baru kiwi yang hidup selama periode pertengahan Pleistosen di Pulau Utara Selandia Baru. Temuan tersebut telah dipublikasikan di jurnal Historical Biology.

“Kiwi adalah kelompok burung yang penuh teka-teki dan terancam, unik di Selandia Baru, dengan enam spesies hidup yang dikenali,” kata Dr. Alan Tennyson dari Museum of New Zealand Te Papa Tongarewa and Dr. Barbara Tomotani dari Netherlands Institute of Ecology kepada sci-news.

Untuk diketahui, kiwi adalah spesies lain dari burung yang tidak bisa terbang yang endemik di Selandia Baru dari genus Apteryx, merupakan satu-satunya genus dalam famili Apterygidae. Karena endemik selama jutaan tahun, kiwi dinobatkan sebagai ikon negara Selandia Baru. Kiwi juga telah menjadi simbol bagi orang-orang Selandia Baru dalam hal usia, ras, gender, dan kepercayaan.

 

Saat ini, spesies kiwi termasuk sebagai hewan langka. Dan dengan dijadikannya sebagai ikon negara, diharapkan dapat mendorong banyak upaya pelestarian dan perlindungan bagi kelangsungan hidup kiwi agar tidak punah. Burung kiwi telah dianggap memiliki semangat nasional negeri itu yaitu mampu bertahan dan berevolusi selama jutaan tahun.

Namun demikian, kata peneliti, sementara spesies kiwi modern direpresentasikan dengan baik di Pleistosen Akhir/Holosen, tapi catatan fosil kiwi tetap yang ada saat ini sangat buruk. “Sampai tahun 1998, fosil kiwi tertua yang diketahui hanya berusia sekitar 50.000 tahun (dari Gua Tuarangi, Canterbury Selatan) dan semuanya mirip dengan spesies kiwi modern,” kata peneliti.

Jadi, menurut peneliti, transisi antara protokiwi Miosen dan spesies baru-baru ini masih belum diketahui. Ketika kelompok mahkota kiwi muncul, hal itu terus diperdebatkan dengan studi genetik baru-baru ini yang menyimpulkan bahwa itu terjadi dalam 3,85 juta tahun terakhir atau dalam 12-14 juta tahun terakhir.

Baca Juga: Dari Mahometan ke Muslim Kiwi: Sejarah Muslim di Selandia Baru

Fosil tarsometatarsus Apteryx littoralis dan spesies kiwi lainnya dianalisis dalam penelitian. (Tennyson & Tomotani)

 

Kini, fosil baru tarsometatarsus burung kiwi dapat menjembatani kesenjangan antara catatan fosil Miosen dan fauna modern. Tarsometatarsus adalah tulang yang hanya ditemukan di kaki bagian bawah dari burung dan beberapa dinosaurus non-unggas.

Spesimen tersebut dikumpulkan pada tahun 1998 di sebuah situs dekat Maron di Pulau Utara Selandia Baru. Seperti diketahui, di Selandia Baru, terdapat 2 pulau utama, yaitu Pulau Utara dan Pulau Selatan. Pulau Utara adalah tempat sekitar 76 persen penduduk Selandia Baru Tinggal.

Dalam studi baru ini, Dr. Tennyson dan Dr. Tomotani memeriksa fosil tersebut dan membandingkannya dengan 161 spesimen kiwi. Mereka menemukan bahwa itu sangat mirip dengan tarsometatarsus dari kiwi yang hidup di zaman sekarang. Fosil tersebut sangat mirip dengan tarsometatarsus Apteryx rowi dan Apteryx mantelli dalam ukuran dan bentuk, tetapi memiliki morfologi yang unik.

Baca Juga: Singkap Perdagangan Haram Fosil Burung Purba Berjambul Terlengkap

IlusKiwi tutul kecil (Apteryx Ownii) yang dinilai mirip dengan Apteryx littoralis. (John Gerrard Keulemans)

Menurut peneliti, spesies tersebut berbeda karena lebih gemuk, dengan ujung proksimal dan distal yang lebih sempit secara proporsional. Fosil tersebut kemudian diketahui berusia sekitar 1 juta tahun, berasal dari periode pertengahan Pleistosen, menjadikannya catatan kiwi tertua kedua yang diketahui.

Temuan tersebut menunjukkan morfologi kiwi yang relatif konservatif sejak pertengahan Pleistosen. “Kita dapat berspekulasi bahwa kiwi pertengahan Pleistosen tidak hanya memiliki ukuran dan penampilan yang mirip dengan kiwi modern, tetapi juga hidup di lingkungan yang serupa,” kata para peneliti.

Spesimen fosil tersebut mewakili spesies kiwi yang sebelumnya tidak terdeskripsikan yang kemudian dinamai Apteryx littoralis. "Apteryx littoralis, mungkin terbatas pada wilayah pesisir karena aktivitas vulkanik di Pulau Utara bagian tengah," kata peneliti.

Baca Juga: 'Wonderchicken', Fosil Burung Modern Paling Awal yang Pernah Ditemukan