Tanpa harus menunggu, Adi Ismanto (34) segera bergerak. Ia memberi tahu rekan-rekannya saat mendengar hutan Lubuk Raman di Muaro Jambi, Jambi, akan ditebang dan dibuka menjadi lahan perkebunan sawit. Sejumlah rencana pun disusun untuk mendahului alat berat para penebang sebelum menghancurkan ekosistem tanaman anggrek hutan.
Tak lama kemudian, aktivis pemuda dari Desa Jambi Tulo, Mudung Darat, dan Bakung, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, berkumpul menuju Lubuk Raman yang berjarak sekitar 12 kilometer dari desa mereka. Untungnya, hutan rawa itu masih belum terjamah.
Hutannya masih sangat rimbun. Pepohonan masih tegak menjulang, di antaranya banyak yang berdiameter lebih dari 1 meter. Namun, yang paling menarik adalah anggrek-anggrek hutan yang menempel di atas pepohonan tua. Tanaman-tanaman tersebut tengah memamerkan bunga-bunganya. Bentuk dan warnanya beraneka ragam.
Di ketinggian pohon, anggrek-anggrek tersebut tampak tumbuh subur. Salah satunya adalah anggrek macan (Grammatophyllum speciosum) yang sangat indah. Dikenal sebagai anggrek terbesar di dunia, anggrek macan punya ukuran sebesar rumah. Tingginya hampir 4 meter.
Anggrek itu tampak "memeluk" salah satu dahan besar di pucuk pohon. "Kami terpukau melihat temuan sangat langka ini. Ekosistemnya di tempat yang tinggi dan rimbun," ujar Adi menceritakan upaya penyelamatan anggrek hutan Lubuk Raman pada Januari lalu, Sabtu (15/3).
Penjual anggrek
Lubuk Raman memang tak hanya rumah anggrek macan. Ini "kerajaan" anggrek! Di sana, misalnya, ada kerabat anggrek hitam yang langka dan dikenal sebagai anggrek khas Kalimantan. Bentuknya mirip anggrek hitam (Coelogyne pandurata), bunganya coklat, bermotif tutul, dan berwarna kuning.
"Kami menyebutnya anggrek bawang (Coelogyne asperata)," kata petani yang pernah menjadi penjual anggrek keliling sebelum bersama sejumlah pemuda mendirikan perkumpulan penyelamatan anggrek dan pakis-pakisan hutan. Kelompok ini didirikan pada 2009 dengan nama Gerakan Muaro Jambi Bersakat (GMJB). Anggota kelompok berjumlah 20 orang yang bermata pencarian sebagai petani padi dan sayuran.
Adi dan kawan-kawan juga menemukan sejumlah anggrek yang belakangan diketahui tak pernah ada di wilayah Jambi. Di antaranya anggrek hutan jenis Dendrobium lampongense yang diselamatkan dari hutan dan kini dirawat di salah satu rumah warga. Dari hasil penyisiran, GMJB berhasil menyelamatkan sekitar 40 spesies anggrek. Seperti Dendrobium, semua anggrek ditanam di halaman rumah atau di sela-sela kebun anggota kelompok. "Kami berharap suatu saat dapat ditanam kembali dalam habitat aslinya," ucap Adi.
Dalam bahasa Melayu, sakat berarti 'anggrek dan pakis-pakisan hutan'. Anggrek yang pernah dijualnya dihargai Rp 1.000 per helai daun. Ia bisa memperoleh lebih dari Rp 10 juta sekali berdagang. Sebab, sekali jual, ia bisa melepas ratusan anakan anggrek yang dipanen langsung dari hutan. Pengepul kemudian mengekspor anggrek-anggrek itu.
"Dulu, hutan masih luas sehingga mudah untuk mendapatkan anggrek dan dijual. Namun, sekarang sulit. Jumlah yang dipanen semakin sedikit, " ungkap Adi. Penyebabnya ternyata pembukaan hutan menjadi kebun sawit dan akasia yang marak. Belum lagi banyaknya pemilik modal yang membeli hutan-hutan rakyat. Kawasan Muaro Jambi memang cocok untuk kebun sawit karena lokasinya cenderung datar. Apalagi, lokasinya dekat dengan Sungai Batanghari dan Pelabuhan Talang Dukuh yang memudahkan pengangkutan hasil panen sawit.
Edwar Sasmita, Ketua GMJB, pun menyatakan, "Sakat tak akan selamat dari pembabatan hutan kecuali jika ditangkarkan dengan baik. Oleh karena itu, setiap kali mendapat informasi rencana pembukaan hutan, GMJB langsung bergerak menyelamatkan sakat. Mereka beradu cepat dengan alat berat di lapangan. Ada kalanya mereka terlambat dan hutan sudah rata dengan tanah. Mereka pun cuma bisa memunguti anggrek dari pohon-pohon yang tumbang."
Sejauh ini, lebih dari 80 spesies anggrek berhasil diselamatkan. Beberapa di antaranya anggrek macan, Dendrobium, Bulbophyllum, Cymbidium, Appendicula, Pomatocalpa, Phalaenopsis atau Eria, Trichotosia Ferox, Thelasis, Flicking Coelogyne, dan Javanica. Namun, anggrek yang ditanam di tempat yang bukan habitat aslinya berubah pigmen. Anggrek keris (Dendrobium aporum aloifolium), misalnya, yang bunganya ungu terang, saat ditanam di halaman rumah, warna ungunya memudar dan berubah menjadi hijau seperti daunnya.
Perlu "rumah" baru
Namun, apa pun, GMJB bertekad mengembalikan seluruh anggrek ke habitatnya. GMJB mengusulkan satu kawasan hutan seluas 600 hektar di Pematang Damar, Muaro Jambi, sebagai "rumah" baru anggrek-anggrek hutan itu.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Muaro Jambi Nazman Efendi mendukung usulan hutan konservasi anggrek dari GMJB. Namun, belum diputuskan di mana lokasinya. Hutan di Pematang Damar itu dipilih karena cuma kawasan itu yang dianggap masih tersisa meski perambahan liar mulai merasuk juga.
Saat ini, areal hutan di Muaro Jambi mencapai 154.642 hektar. Sebagian lahannya bisa digunakan untuk konservasi anggrek, misalnya taman hutan raya yang memang diperuntukkan bagi kepentingan konservasi, penelitian, dan wisata.
Kompas melihat jejaknya berupa semak belukar dan pohon-pohon kecil. Tampak bekas tebangan kayu dan sejumlah kanal untuk menghanyutkan kayu-kayu bulat sisa penebangan di masa lalu. Meski demikian, kawasan itu masih bisa diharapkan sebagai pengganti hutan konservasi asal pelestariannya benar-benar dijaga.
"Kawasan konservasi hutan itu bisa menghidupkan masyarakat di sekitarnya. Minat wisatawan pun akan meningkat. Pengunjung Candi Muaro Jambi, yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari hutan Pematang Damar, bisa juga menikmati keindahan anggrek hutan di habitat barunya," ucap Edwar.
Meski demikian, pakar anggrek dari Universitas Jambi, Syafrial, tetap menganggap Muaro Jambi sebagai kawasan yang paling cocok bagi koleksi alam di hutan dataran rendah Jambi.