Hutan adalah penyedia kehidupan bagi makhluk yang berada di daratan. Sementara di kedalaman laut, terumbu karang adalah penyedia kehidupan itu. Namun, deforestri menjadi ancaman keberadaan terumbu karang.
Bagi ikan, terumbu karang bisa menjadi tempat berlindung, memijahkan telur, hingga tempat beristirahat. Makin banyak ikan herbivora di sekitar terumbu karang berarti makin banyak ikan pemangsa, dan akan ada ikan pemangsa dari "kelas" yang lebih tinggi.
Berlanjut, terciptalah rantai makanan seimbang. Bagi manusia, bersambungnya rantai makanan di kedalaman laut tersebut memastikan pula ketersediaan ikan untuk pasokan makanan laut. Ketika deforestri menjadi ancaman, bagaimana kondisi terumbu karang di Indonesia?
Kondisi terumbu karang itulah yang hendak diulik Ekspedisi Pemantauan Terumbu Karang untuk Evaluasi Dampak di Alor dan Flores Timur di Nusa Tenggara Timur. Kegiatan ini merupakan kerja sama WWF-Indonesia, Wildlife Conservation Society (WCS), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Menggunakan kapal motor "Menami", pelayaran ekspedisi ini dimulai pada 13 April dan berakhir 1 April 2014. Bermula dari Kalabahi, ekspedisi mengitari pulau Alor, Pantar, dan Solor, dengan singgah sejenak di Larantuka, Kabupaten Flores Timur.
Saya menjadi salah satu jurnalis yang turut serta dalam kegiatan ini, empat hari terakhir. Perjalanan menyusuri Pulau Flores dan Adonara, mendatangi 10 titik sampel. Dari Larantuka, Menami bertolak ke sisi utara Pulau Flores.
Kondisi terumbu karang di tengah isu deforestrasi pun langsung menyeruak. Memprihatinkan.
Dari sebagian besar lokasi yang disambangi ekspedisi, sebagian besar terumbu karang rusak. Banyak terumbu karang pada kedalaman 6 meter pecah berantakan bahkan mati. Kondisi lebih baik hanya terlihat pada kedalaman lebih dari 6 meter.
Manusia, merupakan penyebab kerusakan terumbu karang di kawasan ini. Tiga cara menjadi "perantara" perusakan itu, yakni bom ikan, jaring, dan racun potas. Bom ikan dilemparkan nelayan dari permukaan dan meledak di kedalaman air, tak hanya membunuh ikan tetapi juga menghancurkan terumbu karang dengan hanya menyisakan pecahan atau rubble.
Penggunaan beberapa jenis jala merusak terumbu karang saat ditarik kembali ke atas kapal nelayan. "Yang paling berbahaya justru potas karena cairannya bisa terbawa aliran air dan bisa menyebabkan kerusakan lebih luas lagi," ujar Efin Muttaqin, peneliti terumbu karang yang ikut dalam ekspedisi ini.
Kerusakan terumbu karang ditemui tim ekspedisi di perairan di sebelah utara Pulau Alor. Untuk melihat dari dekat kondisi kerusakan, para peneliti harus berhadapan dengan arus laut yang kuat, sampai harus merayap di dasar laut.
Namun, ada pula lokasi yang terumbu karangnya masih terjaga. Misalnya, di utara Pulau Adonara, yang didatangi ekspedisi pada Senin (31/3). Terumbu karang di kawasan ini relatif terjaga karena lokasi tersebut bukan jalur pelayaran dan jarang dilalui kapal nelayan.
Ekspedisi ini pada dasarnya adalah survei atas kondisi terumbu karang dan ikan di sana. Dua tim diturunkan di lokasi yang berdekatan. Di setiap tim terlibat peneliti karang dan peneliti ikan karang, yang berjalan dalam garis lurus setiap kali terjun ke lokasi.