Diplomasi Rendang: Saatnya Kuliner Lokal Berjaya

By , Kamis, 10 April 2014 | 20:48 WIB

Begitu banyak bumbu dan waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu masakan bernama rendang. Sejalan dengan itu, ganjaran apresiasi untuk masakan khas Ranah Minang ini pun tak kalah banyak.

Dari semula lauk pauk sehari-hari keluarga di Sumbar, rendang berkembang jadi lahan usaha, hingga subjek tayangan di media massa. Rendang juga makanan nomor satu paling disukai di dunia berdasarkan angket CNN!

Lewat pamor sebesar itu, intinya rendang dapat dikemas menjadi suvenir khas nan menarik.

Rendang memang makanan yang biasa dibuat di rumah dengan cara tradisional menggunakan bahan bakar kayu. Namun berkat ketekunan dan kreativitas, rendang pun layak dibingkiskan.

Inovasi bahan

Sejatinya, bahan baku rendang tidak melulu daging sapi. Ibu saya pernah membuat rendang udang galah.

Yang menyenangkan, perjalanan saya ke penjuru Sumatra Barat mempertemukan dengan para inovator rendang.

Rendang lokan (kerang) dijumpai di pesisir Painan dan Pariaman. Rendang belut jadi rendang adat di Batusangkar. Dan, variasi terbanyak, dari rendang telur sampai rendang paru—ada di Payakumbuh.

Ada juga daerah lain yang membuat rendang berbahan baku daun-daun dari pepohonan di pekarangan, seperti surian, arbei, belimbing.

Pucuk dapat direndang dan dicampur ikan haruan untuk memberikan efek manis kaldu. Adanya inovasi ini membuat rendang makin disuka dan dikenal luas.

Wisata kuliner terpadu

Italia, adalah salah satu negara yang paling aktif mengadakan pesiar kuliner bagi wisatawan mancanegara. Mereka belajar membuat piza, pasta, dan bermacam hidangan khas Italia dalam paket tur dengan kemasan menyenangkan.

Kita juga bisa melakukan hal serupa. Untuk kuliner lokal, seperti rendang, tak sekadar menyantapnya, tapi wisata kuliner dengan menyerap pengalaman berharga saat menelusuri daerah-daerah yang terkenal dengan tradisi rendangnya. Dari Padang, Batusangkar, Painan, Pariaman, Bukittinggi, Danau Maninjau-Agam, sampai Payakumbuh.