Hendrik mengatakan, mengaitkan dongeng Timun Mas dengan Lumpur Lapindo merupakan hal aneh.
Menurut dia, Mahkamah Konstitusi 27 Maret 2014 menyatakan pemerintah harus menanggung ganti rugi Lapindo termasuk yang di luar peta terdampak. Banyak anggaran sudah dikeluarkan. "Pemerintah sampai saat ini tidak pernah menagih dana talangan kepada Lapindo."
Bencana lumpur Lapindo, katanya, tak hanya berbicara soal ganti rugi juga kehidupan sosial, pendidikan, dan mata pencaharian warga yang diabaikan.
Dalam aspek kesehatan, masyarakat terserang ISPA, gangguan paru-paru karena terlalu banyak menghirup gas beracun. "Penggunaan nama juga berdampak buruk. Bukan lumpur Sidoarjo, harusnya lumpur Lapindo."
Hendrik mengatakan, tidak akan terjadi danau lumpur kalau tak ada pengeboran. "Inihuman error, tidak ada relevansi dengan dongeng tempo dulu. Seolah-olah kejadian ini sudah memang harus terjadi. Ini tak masuk logika. Kalau dibiarkan begitu saja dongeng Timun ini bisa jadi pembenaran," kata Hendrik.
Kurniawan Sabar, Devisi Kampanye Walhi Nasional mengatakan, buku ini ditulis dengan ide sederhana namun memberikan gambaran jelas mengenai lumpur Lapindo.
"Penulis berupaya memberikan counter opini. Buku ini memberikan gambaran utuh mengenai kasus Lapindo."
Dalam menggunakan kearifan lokal, othak athik gathuk sama dengan cocologi dalam istilah Makassar. Yakni, mencocok-cocokan sesuatu yang sebenarnya tak berhubungan.