Sehari Mencumbu Distrik Rueifang

By , Kamis, 17 April 2014 | 20:08 WIB
()

Kami baru saja tiba di stasiun kereta Rueifang ketika gerimis menerpa. Waktu menunjukkan pukul 10.10 waktu Taiwan. Tak terasa sudah satu jam kami berkereta dari Taipei Main Station. Tujuan kami adalah menghabiskan satu hari di desa pertambangan Juifen di distrik Rueifang, Taiwan.

Apple Lu, teman kami warga Taiwan segera meloncat ke platform stasiun. “Huan ying Taiwan,” katanya. Selamat datang di Taiwan, ucapnya sambil senyum. 

Bentang alam dan laguna sebagai pemandangan andalan Juifen (Foto: Syafrizaldi)

Desa Juifen sejak 1990 telah dikreasikan oleh pemerintah Taiwan menjadi desa wisata tambang. Apple menerangkan kepada saya, mulanya Juifen hanyalah sebuah desa yang terisolasi karena lokasinya yang jauh di pegunungan.

“Dulu para petambang jarang turun ke kota karena semua disediakan di sana. Mulai dari kebutuhan pangan, sampai kebutuhan biologis,” katanya setengah berbisik.

Kami menaiki mini bus bercat dasar putih dengan garis-garis merah serta motif ukiran bunga di dindingnya. Perjalanan menanjak menuju Juifen ditempuh dalam setengah jam melaui jalanan yang berliku dan menanjak.

Di Juifen, Bus berhenti di tepi jalan utama yang dibangun pemerintah Taiwan pada 1990. Lalu berjalan kaki menanjak sekitar 100 meter menuju Juifen Old Street.

Memasuki Juifen Old Street, kami langsung disuguhi jalan yang padat dan sempit karena bangunan ditata berhadap-hadapan dan menyisakan ruang untuk pejalan kaki selebar 3 sampai 4 meter. Di lorong-lorong ini, saya merasa bagaikan berada di tengah pasar pada desa-desa yang sering saya tonton di film-film kung fu. Suasananya riuh dan ramai.

Para pedagang menawarkan berbagai macam hal. Sebagian diantara pedagang itu menggunakan pengeras suara yang dikaitkan di kepala dengan speaker mini yang mereka gantungkan di pinggang. Barangkali ini konsekuensi bila wisata telah menjadi massal.

Kami memutuskan untuk berpisah disini karena tidak memungkinkan berjalan dalam rombongan sementara banyak sekali manusia berseliweran.

Pertambangan batu bara sudah dimulai sejak zaman Jepang menguasai Taiwan. Namun eksploitasi besar-besaran dimulai sejak 1971, ketika cadangan 220 ribu ton batu bara ditemukan di wilayah ini. "Emas hitam" ini kemudian menjadi primadona selain emas murni di Juifen. Namun eksploitasi batu bara hanya berlangsung selama 20 tahun, pada 1990 cadangannya menurun drastis.

Saya mulai berjalan sendiri, sementara mahasiswa Indonesia lainnya juga melakukan hal yang sama. “Kita baiknya memetik pelajaran sendiri dari perjalanan ini,” kata mereka saat kami berpisah. Saya mulai mengeksplorasi wiayah ini dengan buku catatan dan kamera.

Menyisir masa lalu

Jepang benar-benar membawa perubahan atas daerah terisolir ini.  Apple Lu menceritakan bagaimana terisolirnya Juifen di masa lampau. Jalan sempit dengan pemukiman yang berjarak. Serta orang-orang desa yang bertani.  Kembali ceritanya itu mengingatkan saya pada film-film kung fu berlatar zaman dahulu. Kini, Juifen telah menjadi pusat wisata tambang yang apik dengan arsitekturnya yang menawan.

Katanya melanjutkan, zaman penjajahan Jepang adalah zaman perubahan ketika emas ditemukan di Juifen. Pertambangan emas yang mulai dibuka sejak 1893 merubah wajah desa di pegunungan ini menjadi desa tambang.

Kini, bangunan-bangunan tua banyak yang difungsikan sebagai toko atau hotel. Penduduk Juifen biasanya menyebut penginapan sebagai Jiufen minsu karena pemandangannya yang indah dimalam hari. Ditemani lampion, udara segar serta minuman hangat akan membuat malam serasa singkat. 

Bangunan tua sudah direhabilitasi sedemikian rupa sehingga menyajikan wisata sejarah tambang yang penuh cerita menarik. 

Saya menaiki tangga yang berundah-undak menuju puncak Juifen. Anak tangga ditata berbelok-belok sesuai dengan kondisi kontur sehingga tidak menyulitkan pejalan kaki.  Untuk menghindari longsor, tangga dibuat dari coran semen dengan corak yang beragam. Sebagian anak tangga ada yang dilapisi batu alam, lainnya ada juga yang bercorak ukiran garis-garis lurus maupun kotak-kotak supaya tidak licin.

Sepanjang sisi kiri kanan tangga, bangunan bergaya tradisional Jepang jamak dijumpai di wilayah ini. Rumah-rumah berbahan kayu dengan atap yang melengkung merupakan corak utama.

Di banyak bangunan, mereka memasang talang air serta aksesoris berbahan bambu. Menurut Apple Lu, hal ini menandakan bahwa kehidupan masyarakat zaman dulu yang menunjukkan kedekatan emosianal diantara penghuni bangunan.

‘Kota Kesedihan’

Saya mencoba menuruni ratusan bahkan ribuan anak tangga.  Tiba-tiba rombongan para volunteer Universitas Chung Hua mengejutkan saya dari belakang. 

“Seharusnya kamu sedih, bukan terkejut.  Karena ini adalah kota kesedihan,” cetus salah seorang dari mereka.

Cerita kota kesediahan bermula dari sebuah film yang dibintangi oleh aktor Tony Leung berjudul A City of Sadness. Dari informasi yang coba saya kumpulkan, film ini pertama kali film ini dirilis di Venice Film Festival pada 4 September 1989.  Sebulan kemudian barulah dirilis di Taiwan.  Film ini berlatar Juifen.

Saya mengunjungi Shengping Theater yang merupakan bioskop modern tertua di Taiwan. 

Dibangun sejak 1914 dengan gaya arsitektur Jepang. Dulunya Shengping Theater merupakan salah satu tempat hiburan paling wah bagi para pekerja tambang. Kini, teater ini hanya difungsikan sebagai museum dengan memutar film-film klasik.

Saya masuk ke teater ini jam 4.48 persis ketika scene terakhir A City of Sadness sedang menayangkan adegan makan antara beberapa orang laki-laki. 

Dengan sedikit menyesal karena terlambat, saya mencoba memperhatikan sekeliling teater.  Sebuah pemutar film antik berada di panggung belakang. Sulit disentuh karena diberi pembatas dari rantai besi.

Dari informasi yang saya kumpulkan, film berdurasi 157 menit ini mengisahkan pengalaman keluarga Lin semasa terror putih Pemerintahan Kuomintang pada akhir tahun 1940-an.

Selanjutnya, film-film lainnya dibuat dengan latar Juifen seperti film animasi Jepang Spirited Away tahun 2001 dan drama Korea On Air tahun 2007.