Penerbit Buku Kompas kembali menerbitkan satu buku biografi inspiratif. Kali ini sumber inspirasinya adalah seorang putri Pura Mangkunagaran, bernama Gusti Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemawardhani atau Gusti Noeroel. Ialah sosok perempuan Keraton berkarakter berprinsip.
Gusti Noeroel merupakan anak tunggal putra adipati Keraton Jawa, Kota Solo, Praja Mangkunagaran, K.G.P.A.A Mangkoenagoro VII dari permaisurinya, Gusti Kanjeng Ratu Timoer. Ayah Gusti Noeroel adalah seorang ningrat dari Solo yang beristrikan putri dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Ibu Gusti Noeroel adalah puteri ke-12 Sultan Hamengku Buwono VII dari permaisuri ketiga, GKR Kencono. Nama asli ibunya adalah G.R.Ay Mursudarijah.
Tolak poligami
Gusti Noeroel dikenal sebagai perempuan muda yang tak hanya pintar membawakan tarian klasik Jawa. Ia juga berhasil memukau orang Belanda saat tampil memenuhi undangan di negeri itu pada 1973. Selain terbiasa mendengar gamelan di lingkungan Keraton saat masih belia, ia juga menyukai lagu Barat.
Oleh sebab sosoknya yang berkarakter inilah, ia menarik perhatian banyak pihak, mulai dari media nasional hingga media di Belanda. Profil Gusti Noeroel dimuat di beberapa media tersebut. Sosoknya pun memberikan inspirasi untuk wanita pada zamannya.
Tak hanya diidolakan kaum perempuan, kecantikan fisik dan kepribadian menarik seorang Gusti Noeroel juga memikat hati berbagai kalangan dan bangsawan. Namun, prinsip kuatnya yang menolak poligami membuat banyak pria patah hati. Sederhana saja alasannya.
"Aku takut tidak bisa tidur karena dimadu," jawabnya terhadap Sultan dari Yogyakarta yang tak berhasil meminangnya.
Dalam bukunya, Gusti Noeroel menuliskan alasannya menolak poligami, meski pada usia 20 tahun belum juga mendapatkan jodoh. Perempuan berusia 20 tahun pada masa itu dianggap tak enteng jodoh jika belum juga menikah.
"Tapi aku lebih percaya dengan hati nurani untuk mengatakan 'tidak' dan harus berani menolak. Rasanya tidak adil bila aku mendesak Sultan untuk menceraikan garwa ampil-nya. Bagaimanapun, mereka kaumku. Wanita mana yang mau diceraikan begitu saja karena suami akan menikah lagi dengan wanita lain. Aku tidak mau menyakiti wanita lain," tulisnya.
Ia menjatuhkan pilihan kepada seorang militer berpangkat letnan kolonel yang bertugas di Bandung sebagai Komandan Pusat Kesenjataan Kavaleri TNI AD, RM Soerjo Soejarso. Mas Jarso, panggilan akrabnya, adalah juga keturunan bangsawan. Namun, pasangan suami istri berdarah biru ini meninggalkan Keraton untuk hidup bersama, membangun keluarga sederhana dalam perantauan.
Pasangan ini dikaruniai 7 anak (satu meninggal), 14 cucu, dan 4 buyut. Kepada anak-anaknya, terutama anak perempuan, Gusti Noeroel kerap berpesan agar jangan pernah mau dimadu. Meski bukan satu-satunya pandangan yang ia tanamkan kepada penerusnya, pesan ini bermakna mendalam.
Kepada Kompas Female, putri sulung Gusti Noeroel, BRAy Parimita Wiyarti, mengungkapkan bahwa prinsip tak mau dimadu tak hanya kuat melekat dalam diri ibunya, tetapi juga dirinya dan semua anaknya hingga cucu-cucunya.
Tradisi kecantikan
Buku mengisahkan cerita kehidupan keluarga keturunan bangsawan yang mencontohkan kesederhanaan. Selain cerita bagaimana menjadi istri, ibu, juga perempuan muda yang mandiri serta mampu menyeimbangkan adat istiadat dengan modernisasi.
Dalam buku ini juga diceritakan sosok perempuan Jawa yang sederhana tetapi berani bereksperimen dengan gaya penampilannya, busana juga perawatan kecantikannya. Ia tak malu tampil berkebaya namun tetap bereksperimen gaya dengan busana konsep modern. Ia menyanggul rambutnya namun tak membatasi aktivitasnya seperti menunggang kuda, bertenis, berenang dan lainnya. Ia menguasai tarian klasik dan mendengarkan musik gamelan, namun tak anti pada lagu Barat. Tak ketinggalan, ia menjalani tradisi warisan budaya Keraton termasuk dalam hal kecantikan.
Bagi salah satu sahabatnya, pengusaha dan ahli kecantikan, Martha Tilaar, sosok Gusti Noeroel memberikan banyak inspirasi. Martha mengaku terpesona dengan kecantikan putri Keraton ini, lahir dan batin, fisik dan kepribadiannya.
Martha mengatakan, Gusti Noeroel merupakan perempuan Keraton yang rendah hati, bersedia membukakan pintu kepadanya untuk berbagi warisan ritual kecantikan Keraton. Ritual kecantikan warisan Keraton yang kemudian dikembangkan menjadi komoditas yang mempercantik wanita Indonesia dan Asia.
"Saya bertemu Gusti Noeroel pada tahun 70-an, saat itu usia saya 30-an. Ia berbagi pengetahuan mengenai filosofi jamu, pemakaian jamu sesuai siklus kehidupan, tradisi Keraton. Ia sangat cantik, bahkan tanpa make up sekalipun. Sudah cantik, ia juga tidak mau bergantung kepada orang lain, perempuan harus mandiri. Perempuan tidak membuat sedih orang lain, ia tidak mau menyakiti hati perempuan lain dengan tidak mau dimadu.
Ia perempuan luar biasa. Tokoh kecantikan yang fashionable," kata Martha, yang membukakan pintu rumahnya untuk menyelenggarakan peluncuran buku Gusti Noeroel Mengejar Kebahagiaan itu di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu (16/4).
Kaya makna
Membaca buku Gusti Noeroel memberikan banyak inspirasi dan membawa segudang makna, utamanya bagi perempuan. Di dalamnya juga terdapat banyak pelajaran berharga, mulai kesederhanaan, integritas, tata krama, pengasuhan anak, hingga sebagian kisah Keraton Solo yang makin memperkaya isi buku ini.
Usai membacanya, mungkin Anda akan menemukan idola atau bahkan pandangan baru mengenai kehidupan kalangan bangsawan. Komentar salah satu cucu Gusti Noeroel dalam buku ini menunjukkan, bagaimana kebiasaan berbagi cerita dalam keluarganya mengenai sosok eyang Putri membuatnya menemukan idola.
"Kami tahu eyang saat muda dari orangtua kami. Kami tertegun mendengarkan, walau tak bisa mengingat seluruh cerita perjuangan hidupnya. Betapa ia menjadi idola para pria, betapa gigihnya ia mengangkat menjaga harum nama dan martabat wanita pada zamannya. Eyang Putri adalah eyang tercinta dan idola saya," kata Alika Mitari, cucu dari puteri sulung Gusti Noeroel, B.R.Ay Parimita Wiyarti.
Sementara bagi Parimita, buku ini membawa banyak makna. Bukan semata biografi sosok perempuan yang layak menjadi inspirasi, namun juga menjadi pengingat sekaligus kritik kepada kalangan bangsawan.
"Orang berdarah biru ada yang sombong dan menganggap dirinya berbeda, mengagungkan dirinya sendiri. Mereka tidak mau berbaur. Ibu tidak mengajarkan itu karena kita sama-sama manusia, mengapa harus berbeda. Kami belajar merakyat dari ibu, tidak ada lagi feodalisme. Bangsawan yang sebenarnya adalah mereka yang merakyat, bukan yang memisahkan diri. Kalau ada yang sombong itu bukan bangsawan yang sebenarnya, itu Ndoro palsu," katanya