Merawat Slamet, Melestarikan Semesta

By , Senin, 5 Mei 2014 | 14:43 WIB

Gerah menyaksikan Gunung Slamet, gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa, menjadi lautan sampah para pencinta alam ”palsu”, sekelompok pemuda rela bermandi peluh, menyusuri jalur-jalur pendakian demi memunguti berton-ton sampah. Sejumlah strategi digagas agar pendaki jeri mengotori gunung. Demi satu misi: menjaga Slamet tetap lestari.

Semilir angin meniup ilalang di padang sabana, tempat Setiyanto (28) merebahkan badan di atas kantong plastik penuh sampah, pekan lalu, di pos III jalur pendakian Gunung Slamet. Dia anggota Forum Silaturahmi Peduli Lingkungan (FSPL) Gunung Slamet, yang terdiri atas gabungan kelompok pencinta alam di wilayah Kabupaten Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap. Sudah dua tahun terakhir belasan anggota forum itu rutin menggelar kegiatan ”Bersih Slamet” sebagai salah satu upaya pelestarian.

Aktivitas vulkanik gunung, yang kondisinya saat ini cukup membahayakan sehingga statusnya ditetapkan Waspada, menarik dikunjungi. Masifnya pendakian dengan banyak jalur membuat gunung itu dipenuhi sampah dan mengancam kelestariannya.

Ide bersih-bersih gunung muncul dari keprihatinan sekelompok pemuda menyaksikan rendahnya kesadaran pendaki membawa sampah pribadinya turun. Berdasarkan pengamatan Kompas, sepanjang jalur pendakian melalui Pos Pendakian Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, menuju puncak Slamet, berbagai jenis sampah menghampar. Mulai dari bungkus permen, bungkus mi instan, kertas tisu, botol bekas minuman air mineral, serta kaleng sarden dan kornet.

”Sampah di sepanjang jalur pendakian sudah memprihatinkan. Mungkin banyak orang melihat upaya ini seperti menggarami air laut, tetapi kami yakin pendaki yang melihat jerih payah kami ini ke depannya akan berpikir ulang sebelum membuang sampah di gunung,” kata Setiyanto.

Tidak hanya di jalur pendakian, sampah juga dibuang seenaknya sendiri dalam beberapa shelter (tempat berlindung), mulai dari pos I hingga pos VII. Banyak pendaki juga membuang sampah dalam hutan.

Lingkungan menurun

Aji (29), aktivis FSPL Gunung Slamet dari Kabupaten Cilacap, Jateng, mengungkapkan, mencermati data pendakian dan estimasi jumlah logistik yang dibawa setiap pendaki, sampah di sepanjang jalur pendakian akan semakin menumpuk. Satu pendaki sedikitnya membawa logistik berupa 5-8 bungkus mi instan, 3-5 boks susu, 10-15 kemasan kopi, dua kaleng sarden, tiga bungkus tisu basah, tiga rol tisu kering, tiga botol air mineral, dan sebungkus rokok.

Dalam sweeping Maret lalu, belasan anggota FSPL Gunung Slamet dari Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Pemalang, hingga Pekalongan itu setidaknya membawa turun 57 kantong besar penuh berisi sampah. Setiap kantong berisi 15-20 kilogram sampah. Sampah yang dibawa turun tidak kurang dari 1,14 ton.

Mereka menuruni gunung dengan memanggul kantong besar itu. ”Sampah itu dibawa ke tempat pembuangan akhir,” ucap Dodo, Ketua FSPL Gunung Slamet.

Relawan juga terpaksa membongkar tempat sampah dari bambu yang berada di pos I. Menurut Dodo, keberadaan tempat sampah di jalur pendakian sama saja mengizinkan pendaki membuang sampah di tempat itu. Padahal, yang diharapkan, Gunung Slamet bersih dari sampah. Artinya, sampah juga tidak boleh ditimbun karena bisa mencemari tanah.

Kepala Bidang Konservasi dan Pengendalian Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Purbalingga Karwan mengungkapkan, sampah anorganik, seperti plastik, kaleng, bekas botol kaca, dan styrofoam, adalah barang yang sangat sulit diurai tanah. Beberapa akibat yang ditimbulkan adalah tercemarnya tanah, air tanah, dan makhluk bawah tanah.

Racun dari partikel plastik yang masuk ke dalam tanah juga akan membunuh hewan pengurai dalam tanah, seperti cacing. Adapun kantong plastik mengganggu jalur air yang teresap ke dalam tanah. ”Yang pasti, timbunan sampah anorganik akan menurunkan kesuburan tanah karena plastik menghalangi sirkulasi udara di dalam tanah dan ruang gerak hewan pengurai,” ujar dia.