Nathania Sjarief, Tunarungu Tak Membuatnya Menyerah

By , Jumat, 9 Mei 2014 | 11:55 WIB

Setelah lulus S-1 dengan predikat cum laude , Nathania Tifara Sjarief (25) menggeluti profesi sebagai desainer grafis. Ia pun menulis buku pembelajaran interaktif bagi anak-anak usia 4-6 tahun. Dua dari tujuh buku penuh gambar menarik itu sudah dicetak dan menjadi buku laris di Toko Buku Gramedia sejak April tahun 2013.

Buku panduan bagi guru dan worksheet  bagi anak-anak karya Thania juga telah diujicobakan ke beberapa sekolah, seperti Lazuardi Global Islamic School dan sekolah Al-Izhar. Anak-anak yang masih duduk di bangku kelas I hingga III sekolah dasar ternyata menyukai metode pembelajaran modern yang lebih mengedepankan visual.

Saat ini, Thania sedang menyelesaikan buku ketiga sekaligus berusaha merampungkan kuliahnya di jenjang S-2. ”Saya senang menggambar. Dari kecil, mama mengajari saya belajar dari menggambar. Kebanyakan buku pelajaran lebih banyak teks. Gambarnya dikit,” kata Thania.

Mama yang ia sebut adalah Karen Tambayong (58), ibu yang dengan sabar dan penuh kasih mendampingi Thania menjadi perempuan matang hari ini.

Selain dipasarkan di toko buku, Thania berencana menggratiskan semua buku karyanya lewat internet. Sebuah website sedang disiapkan agar anak-anak Indonesia bisa mengunduh buku indah karya Thania secara cuma-cuma. Materi pelajaran di buku itu sama dengan kurikulum sekolah, tetapi diperkaya dengan gambar-gambar.

”Aku pengin semua anak bisa dapat. Tak semua anak bisa beli buku mahal. Aku mau lebih berguna lagi buat anak-anak. Pengin mendalami dan membantu anak-anak Indonesia,” tambah Thania.

Kecintaan pada dunia anak-anak itu juga dijadikan bagian dari bahan tesisnya. Thania menjalani riset untuk mengetahui kesukaan visual anak-anak usia kelas I-III SD. Riset tersebut, antara lain menyurvei warna desain yang disukai anak-anak, sekaligus mempelajari psikologi anak.

Gambar-gambar karya Thania tak hanya tercetak di buku pelajaran. Karyanya juga mewarnai kampanye-kampanye terkait isu lingkungan, seperti pentingnya menanam pohon serta  menjaga Bumi, bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat yang peduli kelestarian lingkungan. Keindahan dunia anak-anak lewat gambar kartun juga menghiasi dinding rumahnya.

Kami menemui Thania yang lincah di rumahnya yang nyaman di kawasan Bintaro. Ia tinggal bersama sang ibu, Karen Tambayong, dan kakaknya, Nadine Zamira Sjarief, yang adalah Miss Indonesia Earth 2009. Sebelum masuk rumah, Thania menyempatkan diri menyapa seekor anjing tua yang sudah dipelihara sejak belasan tahun. Dengan kedua tangan diletakkan di pangkuan dan posisi duduk selalu tegak, ia mengajak berbincang di ruang tamu.

Thania menceritakan pengalaman hidup sebagai tunarungu. Sama sekali tak memiliki sisa pendengaran, Thania mengandalkan cochlear implant dengan 22 seri baterai yang ditanam di dalam telinganya. Alat bantu dengar yang dipasang di salah satu telinganya itu memampukannya belajar "mendengar" suara.

Seperti ketika anjingnya tiba-tiba ribut menggonggong, Thania segera berlari ke luar untuk menenangkan. Tapi, suara yang didengarnya berbeda dengan apa yang kita dengar. Ia harus belajar setahap demi setahap untuk mengenali suara. Perlahan, ia mencoba merangkum suara yang didengar menjadi kata-kata yang diucapkan.

Selain elektroda di dalam telinga, Thania juga dibantu alat tambahan yang dipasang di luar telinga sebagai penerima suara. Alat penerima suara seharga mobil baru yang dipasang di belakang daun telinga ini harus diganti berkala. Sambil tertawa kecil, Thania memadankan alat bantu dengar yang sudah tiga kali ganti itu dengan iPhone yang terus-menerus diperbarui.

Dulu kabel dari alat bantu dengar itu sering ditarik-tarik oleh kawan sekolah yang iseng. Kini alat tersebut semakin canggih dan bisa disetel sesuai keinginan. Jika ingin serius belajar, misalnya, alat bantu dengar bisa disetel silent sehingga tak satu pun bunyi bakal terdengar.

"Kalau mamaku mulai cerewet dan ngomel, dimatiin saja deh," kata Thania yang disambut derai tawa dari Karen yang pagi itu menemani Thania.

Alat bantu dengar bagi Thania dipasang sejak usia empat tahun, tetapi ia baru benar-benar lancar berkomunikasi saat kelas V SD. Hingga kini, diskriminasi terhadap penyandang difabel masih dirasakannya.

Agar Thania bisa diterima di sekolah biasa, sang ibu pernah menyembunyikan bahwa Thania adalah penyandang tunarungu. Begitu ketahuan tunarungu, Thania pernah akan dikeluarkan. Namun, ia bisa bertahan karena tes IQ di atas rata-rata.

Kesulitan ternyata tak berhenti di situ, Thania hampir selalu terancam dikeluarkan setiap kali kenaikan kelas. Thania tidak menyerah. Ia berjuang mati-matian mengejar ketertinggalan dengan kursus tambahan seusai jam sekolah. Jika ada kata-kata guru yang tak tertangkap pendengaran, ia harus meminjam catatan teman.

"Belajar sambil nangis heboh. Kecepatan menerima pelajarannya berbeda dengan teman lain," tambahnya.

Setelah kelas V SD, Thania mulai bisa beradaptasi dan mendapat nilai bagus. Pelajaran sekolah bisa dikuasai, rekan-rekannya pun mulai menyukai dan mau membantunya. Thania lalu aktif berorganisasi, menjadi panitia beragam kegiatan sekolah, menjajal terlibat dalam klub basket di sekolah, hingga ikut kelompok doa.

Thania berjuang keras ketika kuliah. Materi kuliah makin rumit dengan bahasa yang sering kali sulit ditangkap. Ia rajin bertanya ke teman kuliah atau dosen seusai kuliah.

"Aku enggak tahu dosen ngomong apa karena ngomong cepet. Bahasanya dewa banget. Aku harus memberanikan diri bilang kalau punya kekurangan," ujar Thania.

Kekurangan yang diderita Thania berawal dari wabah meningitis atau radang selaput otak yang melanda Amerika Serikat. Kala itu, ia ikut hijrah ke AS mengikuti papanya yang mengambil kuliah S-3 di sana. Thania harus berjuang untuk hidup. Mukjizat membuatnya terbebas dari koma selama sembilan hari dan kelumpuhan.

Thania menjalani operasi pemasangan cochlear implant . Demi perkembangan Thania, mereka kemudian pulang ke Tanah Air. Dilingkupi cinta dari keluarga dan dukungan dari guru serta rekan-rekannya, Thania bertumbuh menjadi pribadi yang ceria dan selalu tersenyum. Thania percaya bahwa semua trauma dalam hidup bakal bisa dilewati seiring perjalanan waktu.

Sebagai tunarungu, Thania belajar mandiri sejak kecil. Ia terbiasa naik mikrolet menuju sekolah atau ojek sepeda motor. Ia pernah kos sendiri di daerah Karawaci, Jakarta Barat. Ia juga mewarnai hidup dengan beragam kegiatan, seperti main basket, lari keliling kompleks, hiking ke gunung, dan snorkeling.

Thania sebenarnya rindu ingin menyelam lebih dalam ke dasar lautan, tetapi alat bantu pendengaran yang dipasang di telinganya tak memungkinkan menjalani olahraga selam. Padahari kemerdekaan 17 Agustus lalu, ia bersama teman-teman merayakannya dengan snorkeling di Karimunjawa. Demi menjangkau pulau indah di utara Jawa itu, Thania iseng naik bus umum dari Terminal Rawamangun, Jakarta Timur.

"Berangkat bertiga, cewek semua. Supaya enggak khawatir, enggak ngasih tahu mama. Dari Rawamangun ke Karimunjawa naik bus, itu seru banget," ujar Thania.

Jika ada janji ketemu dosen pembimbing di Universitas Indonesia, Thania pun memberanikan diri naik kereta commuter line . Jika sedang libur panjang, sesekali ia bepergian bersama sahabat-sahabatnya ke negara lain, seperti Kamboja atau Laos.

Kemampuan mengatasi rasa takut juga ditanamkan orangtuanya. Ketika seorang teman sekolah memukulnya, Karen bukannya membela, tetapi mengantar anaknya ke sekolah untuk memukul balik.

"Orang cenderung melecehkan. Saya ajarin nonjok yang bener. Harus buktikan fisik mampu meski kecil. Harus belajar animal surviving . Kalau hak kamu dilanggar, ya lawan. Kalau salah, ya perbaiki. Jangan karena kamu handicap , kamu harus nurutin semua orang," ujar Karen.

Dalam pertemuan dengan orang-orang baru, mereka sering kali mengira Thania berasal dari Korea karena gaya bicaranya kadangkala terpatah-patah. "Saya Indonesia kok. Saya hanya enggak bisa mendengar. Aku harus apa adanya. Kalau diam aja dipikir macem-macem," tambahnya.