Komik seri Wiro yang terbit dalam sepuluh jilid sejak tahun 1956, adalah komik Indonesia yang paling unik, paling terkenal, dan paling penting di antara para “Tarzan lokal”, karena keberhasilannya membumikan karakter Tarzan ke dalam sebuah konteks Indonesia.
Dengan pengakuan terbuka di dalam naratif atas sumber inspirasinya, yakni komik dan film-film tentang Tarzan dari Amerika Serikat, Wiro bahkan seperti membalikkan sudut pandang “meniru” itu dengan pembukaan: berbagai suratkabar di seluruh dunia seperti Herald, World Gazette, Saturday Post, dan Morning Post, memberitakan ditemukannya Wiro, yang film tentang dirinya itu, Wiro, The Jungle Boy, diputar di bioskop Rex, Luxor, maupun Capitol.
Bioskop itu tentulah maksudnya berada di Amerika Serikat, dan film itu tentulah sebuah film dokumenter produksi The American Motion Picture Coy, hasil pekerjaan Dr. Watson, yang bersama Miss Lana, seorang ahli serangga, melakukan perjalanan keluar-masuk rimba raya Indonesia.
Mereka nyaris terbunuh ketika ditawan “gerombolan orang-orang liar” di dalam hutan Sumatra Utara, jika tidak diselamatkan Wiro, yang kemudian bergabung untuk menjelajahi rimba seperti cita-citanya. Ya, Wiro adalah seorang murid sekolah dasar yang kurang bagus prestasinya di kelas, tetapi akrab dengan binatang, hebat dalam olahraga, dan selalu membaca komik-komik Tarzan di bawah sinar lampu tempel sampai jauh malam.
“Mungkinkah aku berhadapan dengan Tarzan? Siapakah dikau adanya,” tanya Dr. Watson ketika ikatan tangannya dibuka Wiro.
“Aku bukan Tarzan, tetapi … Wiro anak Indonesia,” jawab Wiro dengan tenang.
Prasangka Rasis dan Eksotisisme
Berbeda dengan pendahulunya, Tarzan of the Apes karya Edgar-Rice Burroughs pada 1912 yang tidak luput dari prasangka rasis, bahwa orang kulit putih lebih superior dibanding orang kulit hitam, maka keberadaan Wiro sebagai anak Indonesia yang menggantikan posisi Tarzan jelas mengubah oposisi tersebut, karena dalam perubahan dari wacana kolonial menuju wacana pascakolonial, memang tampak berlangsung politik identitasnya sendiri dalam proses pelepasan ikatan dari sindrom kolonial.
Dalam proses, prasangka tidak langsung menghilang. Jika Tarzan adalah bayi manusia yang dirawat kera, maka Wiro meninggalkan rumah dan masuk hutan setelah mengalami tindak kekerasan dari ayah tirinya.
Melalui pengembaraannya di dalam hutan, para penggubah komik ini berpeluang menampilkan segenap fauna dengan semangat majalah National Geographic (meski terdapatnya badak di Irian tentu menimbulkan tanda tanya), yakni memperkenalkannya sebagai bagian dari keindahan alam maupun hukum rimba, yang terpaksa dicampuri Wiro ketika mendapatkan sahabat-sahabatnya: Tesar, harimau yang terjebak akar; Kongga, induk orangutan yang anaknya diselamatkan Wiro dari sambaran ular; dan Sambo, gajah Sumatra yang ditolongnya setelah tertimpa batu besar. Adapun monyet kecil Kala, didapatkan Wiro pertama kali sebelum masuk hutan, karena memang dijual di pasar.
Demikianlah Wiro menjadi komik Tarzan yang Indonesia sentris.
Dalam jenis ilustrasi naratif alias komik tanpa balon, teks dan gambar tampak cocok, seperti ada kerjasama yang saling menanggapi, sehingga bagaikan tiada bagian gambar yang tidak dijelaskan.
Segala kewajaran yang membuat pembacaan tidak terganggu, menunjukkan keterampilan tinggi yang tidak begitu mudah ditandingi, yang tentu juga menunjuk kepada tingkat keahlian Kwik Ing Hoo sebagai ilustrator yang tidak dapat pula diingkari.
Namun justru terhadap “kewajaran” sebagai wacana, pendekatan realisme yang meyakinkan sebagai “kenyataan” ini, harus dilakukan sikap kritis.
Posisi Dr. Watson dan Miss Lana misalnya, jelas tetap teracu kepada wacana kolonial, dalam oposisi biner klasik bahwa kulit putih superior dan dalam Wiro ini “pribumi” tetap inferior; seperti ditunjukkan dalam berbagai bentuk: teknologi kamera, buku-buku ilmu pengetahuan, arsenal senapan dan tank, para portir yang mirip “jongos” (selalu berpeci), dan apalagi penggambaran suku-suku di pedalaman maupun di pantai, yang lebih teracu kepada eksotisisme dalam komik dan film Tarzan dari Hollywood daripada suku-suku di pedalaman Indonesia itu sendiri.
Etnik Tionghoa?
Apabila kemudian rombongan ini lantas “membasmi” sisa serdadu Jepang di Irian, semakin jelas dalam wacana pascakolonial ini pun posisi superior kulit putih tidak tergoyahkan.
Masalahnya, bagaimana dengan posisi Wiro sebagai protagonis? Tidakkah Wiro bisa dianggap berada dalam posisi yang tidak lagi inferior berhadapan Dr. Watson dan Miss Lana?
Sejumlah kajian di lingkungan akademik tentang komik Wiro, berdasarkan penanda bahwa Wiro makan daging babi hutan, membagikan dan menjualnya kepada penduduk kampung yang tidak menolaknya, dan ketika melewati kota selalu terlihat pula arsitektur bangunan kelompok etnik Tionghoa, menyatakan bahwa Wiro berasal dari kelompok etnik tersebut.
Namun pembuktian semacam itu belum cukup, karena rumah dan kampung halaman Wiro sendiri tidak memperlihatkan penanda yang terarah ke sana.
Betapa pun, karena Wiro pasti juga bukan bagian dari suku-suku pedalaman atau pantai, mungkinkah karena itu sahih sebagai representasi karakter Indonesia?
Pada tahun 1956, baru 11 tahun dari Proklamasi 1945, dari para penggubah berlatar etnik Tionghoa, sebuah proyek identitas setelah runtuhnya bentuk tradisional atas identitas akibat modernitas, setidaknya telah menyumbangkan salah satu sumber alternatif bagi konstruksi identitas kebangsaan Indonesia.
Dan bagaimana pun, Wiro adalah komik Indonesia yang monumental.
Ada selapis generasi di Indonesia, yang pada masa kecilnya di tahun 1950 sampai ‘60-an begitu bangga berkalung katapel sembari berayun dari dahan ke dahan, tiada lain karena membaca Wiro.