Spesies-spesies anggrek langka dari Indonesia terus diselundupkan. Kasus terbaru ialah dugaan penyelundupan jenis Paphiopedilum robinsonianum.
Jenis anggrek itu dinyatakan sebagai spesies baru dan dipublikasikan di jurnal Orchid tahun 2013. Temuan itu adalah kolaborasi William Caestro (taksonom anggrek Perancis), N Bougourd (pemilik nurseri di Perancis), dan Alistair S Robinson (peneliti kantung semar Inggris).
Peneliti anggrek dari Kebun Raya Purwodadi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Destario Metusala, beberapa waktu lalu mengatakan, riset dan publikasi tersebut janggal.
Destario mengungkapkan, seluruh spesies anggrek Indonesia masuk dalam daftar Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) Appendix 1 dan 2 sehingga cuma bisa dibawa ke luar Indonesia dengan izin dan pengawasan yang ketat.
Inge Yangesa, Kepala Seksi Peredaran Luar Negeri, Kementerian Kehutanan, selaku CITES Management Authority, tidak ada izin yang dikeluarkan pada tahun 2013 untuk membawa spesimen P. robinsoniaum ke luar negeri.
Maka dari itu, bisa dipastikan bahwa spesimen yang dipakai oleh peneliti untuk diidentifikasi dibawa secara ilegal. Oknum yang diduga menyelundupkan belum bisa dipastikan.
P. robinsonianum sendiri pertama diketahui lewat ekspedisi Redfern Natural History Expedition yang dipimpin oleh Robinson pada 2013. Kini, spesimen anggrek itu tersimpan di Herbarium Universite Claude Bernard, Lyon, Perancis (kode: LY).
Banyak terjadi
Destario mengatakan, penyelundupan anggrek sering terjadi. "Sebelum kasus ini, sebenarnya sudah banyak juga yang terjadi. Khusus di dunia anggrek, banyak penyelundupan, baik itu untuk komersial maupun nonkomersial, misal untuk penelitian," katanya.
Banyaknya penyelundupan anggrek antara lain terjadi karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang perlindungan tumbuhan. "Sehingga dapat mudah dibujuk orang asing untuk mengirimkan banyak spesies anggrek alam ke luar negeri tanpa dokumen resmi," kata Rio.
Faktor lain adalah banyaknya pemilik nurseri (pusat pembiakan) dari luar negeri yang keluar masuk Indonesia untuk memburu jenis baru. Kadang, oknum nakal pemilik nurseri lokal juga bekerja sama dan menyisipkan anggrek hutan dalam kemasan anggrek hibrida (hasil persilangan).
"Tahun 2009, hanya berselang 2 bulan sejak publikasi spesies baru Dendrobium floresianum yang endemik Indonesia, ternyata spesies tersebut sudah beredar di Australia dan Malaysia dalam jumlah signifikan. Usut punya usut, sumbernya dari oknum nakal," urai Destario.
Yang miris, dengan biaya membawa anggrek hutan Indonesia ke luar negeri yang minim, anggrek itu bisa dibiakkan dengan mudah. Akhirnya, anggrek hasil pembiakan dijual kembali ke Indonesia dan negara lain dengan harga mahal.
Penyelundupan anggrek, menurut Destario, merugikan dalam berbagai aspek, dari aspek kedaulatan pengelolaan biodiversitas Indonesia yang tercoreng, kerugian ilmiah karena ilmuwan Indonesia harus ke luar negeri bila ingin mempelajari, dan kerugian ekonomi.
"Contoh pada anggrek Dendrobium sutiknoi yang spesimennya sangat susah dicari di Indonesia, bahkan di habitatnya di Papua sana, jika adapun harganya pun selangit. Tapi, nurseri-nurseri di luar negeri sudah menjualnya dengan jumlah besar secara online ke seluruh dunia dengan harga sangat terjangkau," urai Rio.
Kasus yang sama terjadi pada anggrek jenis Dendrobium tobaense, Phalaenopsis javanica, Phalaenopsis violacea, dan banyak lainnya. Ketika negara lain mendulang uang dari sumber daya alam hayati Indonesia, negara kita justru tidak mendapatkan manfaat.
Destario mengungkapkan, "Negara kita mestinya punya sistem yang lebih baik dalam mengelola dan memanfaatkan biodiversitas yang dimiliki karena sesungguhnya negara ini memang diberkahi modal paling berharga bernama biodiversitas. Akan tetapi, melindungi saja tanpa melakukan strategi pemanfaatan secara lestari dan berkelanjutan juga akan percuma."
Artikel telah direvisi untuk memperbaiki beberapa pernyataan. Tidak ada bukti tentang siapa oknum yang membawa spesimen "P robinsoniaum" ke luar negeri, apakah peneliti itu sendiri atau oknum lain. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa yang menyelundupkan spesimen anggrek itu adalah peneliti asing.