Sejak tiga bulan lalu, sentra kerajinan wayang kulit di desa Kepuhsari, Wonogiri, Jawa Tengah, mulai ramai pengunjung, termasuk turis dari mancanegara.
Desa yang dapat ditempuh dua jam dari Solo atau Yogyakarta dengan kendaraan- berpenduduk mayoritas pengrajin wayang kulit.
Di depan rumah sebagian besar penduduk yang berjumlah sekitar 6.000 jiwa, selalu ada meja di depan rumah untuk menatah atau melubangi wayang kulit.
Mulai dari anak usia tujuh tahun sampai mereka yang sudah lanjut usia setiap hari duduk di meja tatah ini setelah bekerja dan sekolah.
Desa Kepuhsari memang berdandan dalam satu tahun terakhir dan September lalu menjadi Wayang Village, desa wisata untuk menarik para pengunjung menyaksikan tradisi dan budaya yang sudah berjalan turun temurun ini.
Penggagasnya empat anak muda, Ariel Pradipta, Fiona Ekaristi, Patricia Sanjoto dan Rieke Caroline.
Lebih dari 30 rumah penduduk dijadikan 'homestay' atau siap untuk menampung pengunjung yang ingin menginap dan merasakan kehidupan di sentra kerajinan wayang kulit ini.
Kerajinan wayang kulit dan dalang
"Desa Kepuhsari kami pilih karena memiliki nilai historis. Tradisi wayang kulit sudah ada di desa ini lebih seratus tahun lalu," kata Fiona.
"Bukan hanya pembuatan wayang kulit, seni pendalangan juga telah mendarah daging. Bisa dibilang masyarakat desa ini telah akrab dengan kisah wayang beserta maknanya," tambah Fiona.
Paket kunjungan yang ditawarkan ke turis mulai dari satu hari sampai tiga hari.
Sujoko – yang bekerja sebagai perangkat desa Kepuhsari - juga mengikuti jejak ayahnya menjadi pengrajin.
"Sudah sejak kecil kami menatah wayang. Putra saya yang berusia tujuh tahun juga sudah mahir. Jadi kalau tidak menatah wayang seperti warga lainnya, rasanya risih," cerita Sujoko.