Kisah Orangutan di Hulu Kapuas

By , Minggu, 25 Mei 2014 | 09:34 WIB

Satwa-satwa ini diduga kekurangan makanan di habitat mereka hingga turun gunung dan memakan madu petani.

Jembatan itu memanjang di bantaran Kapuas. Berkelok-kelok mengikuti daerah aliran sungai (DAS). Tak satu pun sepeda motor melintasi. Jembatan serba kayu ini akrab disebut geretak ini tak cukup perkasa menahan beban terlampau berat. Sepeda kayuhpun jadi primadona, selain berjalan kaki.

Di tengah keterbatasan infrastruktur, desa-desa di Kecamatan Bunut Hilir, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, ini memiliki keragaman hayati begitu besar. Salah satu madu hutan. Sayangnya, konflik antara petani dan satwa, sulit dibendung. Tiga satwa dilindungi, orangutan (Pongo pygmaeus-pygmaeus), beruang madu (Helarctos malayanus), dan elang bondol (Haliastur indus), dianggap hama bagi petani.

Minggu (11/5), di Dusun Ujung Pandang, Desa Kapuas Raya, Jamaluddin sedang memperbaiki bubu. Selain nelayan, ayah lima anak ini juga petani madu. Dia menyisakan satu tikung di rumah.

Tikung adalah kayu yang disenangi lebah bersarang antara lain cerinap, tembesuk, kawi, meddang, dan rengas. Sebelum dipasang, kayu pilihan itu diolah menyerupai papan agak melengkung selebar 18 centimeter. Panjang tikung rata-rata dua meter.

Meddang adalah jenis kayu diyakini paling bagus buat lebah bersarang. Kayu itu dipasang di pohon pakan lebah. Letak agak jauh dari permukiman. Perlu waktu satu jam menggunakan sampan bermesin 3,3 PK untuk ke lokasi.

Dua desa di Bunut Hilir, Ujung Pandang dan Kapuas Raya beruntung. Di sekitar desa, ada danau sebagai kawasan lebah bersarang. Danau Miuban, namanya. Namun, di danau itu tempat satwa dilindungi mencari pakan untuk bertahan hidup.

"Kalau mau jujur, dari dulu kasus orangutan, elang, dan beruang sudah makan madu. Tapi tidak semua tikung dirusak. Ibaratnya, kalau manusia cuma curi-curi. Jadi kerugian kurang lebih. Kalau kami dapat 40 sarang, biasa hilang belasan tikung," katanya.

Namun, dia maklum jika hasil panen berkurang. Selain gangguan satwa, juga sudah banyak orang pasang tikung di danau. Kondisi berbeda ketika pemilik tikung masih sedikit. "Kalau banyak, ya terbagilah lebah bersarang. Hasil pasti berkurang."

Menurut Jamaluddin, penyebab mayas–istilah lokal bagi orangutan–turun ke danau mencari makan karena pakan di hutan berkurang. Si Pongo nekat turun untuk bertahan hidup. Dulu, beberapa petani madu berencana membuka jalan lingkar danau agar orangutan tak masuk ke tikung petani. Rencana itu belum berwujud hingga sekarang lantaran tersandung anggaran.

Berdasarkan hitungan Jamaluddin, dalam satu musim panen, petani bisa menghasilkan 100–200 kilogram madu. Madu dijual ke penampung seharga Rp80.000-Rp100.000 per kilogram.

Bagi petani tradisional, masa panen biasa pada malam hari. Petani tidak berani panen siang hari. Alasannya, takut disengat lebah. Malampun, ditunggu hingga gelap. “Kalau bulan terang kami tak berani. Lebah amat ganas. Kalau satu lebah menyengat, kawanan akan ikut.”

Hal itu diamini Mas’ud, petani madu lain. “Kalau di Danau Miuban tetap ada ganguan. Hama biasa itu ada tiga. Elang, beruang, dan orangutan, ujar dia.