Tanda Kasih dalam Ritual Pemakaman Toraja

By , Minggu, 25 Mei 2014 | 22:02 WIB
()

Tenun Toraja menjadi tanda kasih bagi sanak saudara yang telah tiada. Kain tanda kasih itu berperan penting dalam ritual pemakaman keluarga Toraja yang tersebar di dataran tinggi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Itulah ungkapan pertalian kasih yang menghubungkan sanak saudara.

Tetua adat Kampung Pangrante di Kecamatan Rantepao, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Andariasamba Pongarrang, sibuk memimpin upacara rambu solo bagi Ruth Bamba yang meninggal pada usia 60-an. Memakai sarung tenun warna putih yang menunjukkan status kebangsawanannya, Andariasamba duduk di samping peti jenazah, lalu mengambil pengeras suara.

Pada hari kedua dari tiga hari rangkaian upacara kematian, Andariasamba bertugas menghitung jumlah kerbau dan babi yang akan disembelih. Satu per satu hewan ternak itu dibawa ke lapangan untuk dihitung di depan rumah adat tongkonan yang terletak di pucuk Bukit Singki' itu. Menjelang siang, terkumpul enam kerbau yang kemudian disembelih dengan sekali tebasan di leher.

Bagi keluarga, butuh dua bulan untuk mengumpulkan dana penguburan, terutama dana pembelian kerbau yang mencapai Rp 20 juta per ekor. Selama dua bulan pula, jenazah Ruth Bamba diawetkan dan disimpan di ruang paling belakang dari rumah panggung tongkonan. Meski tergolong bangsawan yang, antara lain, ditandai dengan hadirnya pohon cendana di halaman rumah, Ruth Bamba belum layak menjalani ritual pembalutan jenazah dengan kain tenun.

Menurut Andariasamba, Aluk Todolo atau agama tua yang masih dikukuhi suku Toraja memang mensyaratkan pembalutan jenazah dengan kain tenun bagi bangsawan dengan minimal 12 kerbau yang dipotong saat rambu solo. 

Tenun dalam ritual kematian keluarga Toraja (Lasti Kurnia/Kompas).

Tomantawa atau pemuka adat di Lembang Sangkaropi, Sa'dan, Toraja Utara, Tetty Rantelabi (46), yang akrab disapa Mama Sabbi, malah menyebut angka lebih besar bagi jumlah minimal kerbau, yaitu 24 kerbau. Di ruang paling belakang tongkonan milik keluarganya yang terletak di lokasi sentra petenun di Sa'dan To'barana, Mama Sabbi menunjukkan peti jenazah Gulung Matandung (70).

Meninggal pada Oktober tahun lalu, jenazah Gulung Matandung disimpan dengan dibungkus puluhan lembar kain tenun bermotif paramba yang dulunya pernah dipakai almarhumah. Keluarga Gulung Matandung sudah menyiapkan minimal 24 kerbau yang menurut rencana akan dipotong pada rambu solo yang digelar pada Juli mendatang.

Makin langka

Bagi warga Mamasa Toraja yang tinggal di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, tenun juga menjadi syarat utama dalam ritual rambu solo. Warga di wilayah Tandalangan, Kecamatan Nosu, Mamasa, mengenal ritual mangaro, yaitu mengeluarkan kembali jenazah (batang rabuk) dari dalam kubur (alang-alang). Jasad itu kemudian dibungkus atau dibalut dengan kain tenun. Ritual ini dilakukan berulang setiap empat-lima tahun sekali bagi jenazah yang tergolong bangsawan.

Meski masih digunakan pada ritual adat, pemakaian tenun di Toraja semakin hari cenderung semakin langka. Andariasamba, misalnya, hanya mempertahankan pemakaian sarung tenun yang dibelinya seharga Rp 1 juta ketika memimpin adat rambu solo. Demi penghematan pula, ia memilih memadukan sarung tenun dengan atasan kain pabrikan bergambar motif Toraja buatan Solo, Jawa Tengah. 

Demi penghematan, kain panjang warna merah, hiasan tongkonan yang melambangkan semangat di upacara rambu solo bagi Ruth Bamba, juga tak lagi menggunakan tenun Toraja. Bahkan, tak satu pun dari ratusan pelayat yang menghadiri rambu solo yang masih memakai pakaian dari tenun. Mayoritas pelayat justru menggunakan kainkain bermotif Toraja yang didatangkan dari Jawa.

Salah seorang pelayat, Atik (48), yang memakai baju motif Toraja buatan DI Yogyakarta, hanya memiliki selembar tenun Toraja bermotif paruki yang dibeli seharga Rp 1,8 juta. Tenun itu sengaja ia simpan dan hanya dipakai pada acara yang benar-benar spesial. "Saya cuma punya satu tenun warna hitam, terlalu mahal, jadi sayang. Jarang dipakai," kata Atik.