Tak Sedikit Penghidupan yang Tergantung pada Hutan...

By , Senin, 16 Juni 2014 | 14:21 WIB
()

Indonesia telah berkomitmen untuk menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan emisi gas rumah kaca sampai 26 persen pada 2020. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan 2011, sudah sekitar 700.000 hektare lahan terdegradasi direhabilitasi, dan 50.000 hektare lahan baru yang direstorasi.

Bacalah: 2014, Pemerintah Diharapkan Baharui Kebijakan yang Pro-Pelestarian Hutan

Calon Presiden Prabowo Subianto mengatakan akan memanfaatkan 77 juta hektare hutan kita yang rusak menjadi sawah baru seluas 2 juta hektare.

Mengutip KOMPAS.com, ini dinyatakan Prabowo saat pemaparan visi misi capres dalam debat di Jakarta, Minggu (15/6). "Lahan seluas 77 juta hektare hutan rusak, strategi kita adalah membangun 2 juta hektare sawah baru dan membuka 2 juta hektare untuk bioetanol," ujarnya.

Hamparan perkebunan sawit mengelilingi aliran Sungai Kampar di Provinsi Riau. Tiap tahun, pembukaan dan pembakaran lahan untuk dijadikan area perkebunan telah memunculkan bencana baru bagi masyarakat. Kabut asap beracun akibat pembakaran lahan menjadi ancaman kesehatan nyata bagi masyarakatnya. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Memang menurut Prabowo, strategi pembangunan pertanian yang diutamakan dengan alasan sektor pertanian mampu banyak menyerap tenaga kerja. Dengan itu, maka kebutuhan masyarakat akan lapangan pekerjaan akan teratasi.

Namun data World Bank 2004 menyebut, ada lebih dari 1,2 miliar orang di dunia bergantung pada hutan sebagai mata pencaharian.

Disebutkan, sekitar sepertiga penduduk dunia menggunakan kayu bakar untuk memasak dan menghangatkan rumah mereka. Masyarakat di puluhan negara berkembang, berburu satwa dan mengambil ikan dari hutan dan itu memberikan kontribusi lebih dari seperlima total kebutuhan protein.

Di Indonesia sendiri, menurut catatan Kementerian Kehutanan RI tahun 2009, terdapat 48 juta orang yang hidupnya bergantung pada hutan. (Soal pentingnya kelestarian hutan Indonesia, lihat di sini)

Di satu sisi; sistem usaha tani campuran (agroforestri), bercocok tanam dengan mengombinasikan pohon penghasil kayu dan pohon penghasil hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan sebentuk budaya yang sudah lama diterapkan oleh petani berbagai daerah di Indonesia.

Salah satu contohnya agroforestri kayu jati di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi DI Yogyakarta. Para petani di Kabupaten Gunungkidul mengalokasikan 10 persen dari lahan yang mereka miliki untuk menanam jati.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Tony Bartlett, Manajer Program Penelitian Kehutanan ACIAR (Australian Center for International Agricultural Research), kebun jati petani-petani Gunungkidul menyumbang sebesar 12 persen dari total pendapatan rumah tangga mereka, dan sebagian besar kayu jati ini pula dimanfaatkan untuk peralatan rumah tangga dan ukiran.

Sistem tumpangsari pada hutan jati pun tercatat dirintis sejak 1873 di distrik hutan Pekalongan, Tegal. Awalnya sistem ini digunakan untuk memecahkan masalah ketenagakerjaan dan biaya perbaikan teknik silvikultur (penggunaan bibit unggul, pengolahan lahan, pemupukan, pemeliharaan, perlindungan) tanaman jati.

Selama itu hutan jati menerapkan banjar harian yaitu sistem pembuatan tanaman hutan yang dikerjakan sebagian atau seluruhnya dengan upah harian, sedangkan lahan tak ditanami tanaman pertanian.

Dengan tumpangsari, masyarakat ikut menjaga dan ikut menikmati hasil. Tumpangsari kemudian berkembang dan meluas di seluruh Jawa. Hasil tanaman kehutanan tumpangsari lebih baik daripada cara-cara lain seperti banjar harian walaupun tetap terjadi persaingan penyerapan unsur hara oleh tanaman pertanian. Jadi, penting memilih tanaman yang tepat yang ditanam di sela-sela baris jati.

Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim yang aktif menyusun berbagai kebijakan lingkungan hiudp sejak menjabat Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup periode 2004-2009, di dalam bukunya yang berjudul Menjaga Hutan Kita: Pro-Kontra Kebijakan Moratorium Hutan dan Gambut menulis:

Selain memiliki fungsi menjaga keberlangsungan ekosistem, hutan memberi kontribusi yang signifikan bagi perekonomian dunia.

Bagi perekonomian nasional, hutan merupakan sumber devisa dari hasil kayu maupun hasil hutan bukan kayu, mulai dari berbagai komoditas pertanian hingga kegiatan ekoturisme.

Sementara nilai perdagangan hasil hutan bukan kayu dunia diperkirakan mencapai 11 miliar dollar AS per tahun. Pendapatan negara dari hutan dan hasil hutan Indonesia pada 1985 sebesar 1,2 miliar dollar AS, meningkat menjadi 5 miliar dollar AS pada 2005.