Purnama di Wakatobi

By , Rabu, 25 Juni 2014 | 16:21 WIB
()

Langit malam ini tanpa bintang. Seakan bermuram akan kepergian kami esok. Sudah 12 hari kami di Wakatobi, menikmati keindahan surga bawah laut dan menyesap peri kehidupan masyarakat Suku Bajo.

Bermula dari Mola, sebuah desa di Pulau Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebuah desa dengan komunitas Suku Bajo terpadat di Wakatobi. Kami menghabiskan empat malam pertama kami disana.

Masyarakat Bajo, yang tinggal di atas laut, menyambut kedatangan kami dengan sukacita. Dengan penuh kehangatan, mereka melibatkan kami dalam aktifitas mereka sehari-hari, sehingga kami dapat melihat langsung kebiasaan dan tradisi mereka.

Tidak sedikit masyarakat Bajo yang datang untuk konsultasi kesehatan dan mendapat pengobatan ringan dari kami. Ternyata mereka jarang mendapat kesempatan untuk memeriksakan kesehatan mereka terkait minimnya fasilitas kesehatan yang ada.

Bagi suku Bajo di Mola, masalah kesehatan dapat diselesaikan dengan mendatangi dukun setempat yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kami pun berkesempatan bertemu dengan dukun tersebut, seorang pria tengah baya dengan perawakan sedang adalah seorang pegawai pemerintahan. Seketika pertanyaan muncul menyergap saya: seseorang yang memiliki peran cukup penting dalam pemerintahan daerah ini adalah juga seorang dukun?

Perbedaan konsep sehat-sakit modern dengan tradisional tentunya menjadi dasar perbedaan penatalaksanaannya. Yang menjadi menarik adalah fakta bahwa yang berperan sebagai dukun di sini adalah seseorang dengan tingkat pendidikan yang cukup baik untuk duduk di jajaran pemerintahan setempat dan memiliki interaksi sosial yang cukup maju. Pasti diskusi ini akan menarik, batin saya.

Sesuai dugaan saya, diskusi kami sangat menarik. Informasi bahwa saya adalah seorang dokter ternyata tidak menyurutkan rasa percaya diri sang dukun saat menceritakan metode pengobatan yang biasa ia lakukan bagi yang membutuhkan. Saya hanya banyak mendengarkan.

Masyarakat Bajo percaya bahwa segala penyakit disebabkan oleh adanya gangguan dari 'saudara' mereka yang ada di laut. Yang dimaksud dengan saudara adalah ari-ari mereka, karena memang masyarakat Bajo memiliki tradisi membuang ari-ari bayi yang baru lahir, yang dianggap saudara dari bayi tersebut, ke laut. Sehingga apabila terjadi penyakit, mereka mengembalikan semua ke laut. Mereka memohon dan memberi sesajen bagi saudara si sakit yang ada di laut untuk menyembuhkan penyakit yang diderita melalui bantuan sang dukun.

Saya tertegun. Kepercayaan diri sang dukun mengusik saya. Setelah berhasil membenahi rasa terusik, saya mulai merefleksikan pengalaman tadi.

Bagi sang dukun, konsep sehat-sakit versi dirinyalah yang ia yakini dan percayai, sebuah konsep yang diturunkan dari generasi-generasi pendahulu. Saya berani bertaruh, porsi keyakinannya sama besar dengan keyakinan saya akan konsep sehat-sakit yang saya pelajari. Tak heran ia begitu yakin dengan metode terapinya.

Hal tersebut membuat saya berpikir, mungkinkah selama ini keyakinan saya dan sejawat saya memancarkan kepercayaan diri yang mengusik bagi mereka yang tidak mempercayainya? Mungkin saja. Lantas apa yang dapat kami usahakan agar masyarakat mempercayai apa yang kami yakini? Cukupkah edukasi kesehatan yang kami berikan selama ini bagi mereka yang belum mengerti sehingga sulit meyakini metode kami?

Upacara Pengobatan di Sampela

Kami meneruskan perjalanan kami ke Sampela, sebuah pemukiman Bajo yang terletak di tengah laut antara Pulau Kaledupa dan Pulau Hoga, kira-kira 4 jam perjalanan dengan kapal kayu bermotor dari pemukiman Mola.

Di Sampela, kami mendapat sambutan hangat dari pemilik rumah, yang kemudian memberitahukan bahwa anak laki-lakinya, yang berusia 8 tahun, sedang demam tinggi selama beberapa hari terakhir dan sebentar lagi akan ada dukun setempat yang datang untuk melakukan penyembuhan sesuai tradisi suku Bajo.

Kami sangat antusias mendengar hal ini. Akhirnya kami berkesempatan melihat langsung praktek sang dukun Bajo. Ternyata yang dilakukan sang dukun sebatas menyiapkan sesajen yang kemudian diikuti dengan menghanyutkan sesajen tersebut ke laut.

Tidak ingin menyinggung tuan rumah akan keyakinannya, rasa penasaran akan efektifitas metode penyembuhan sang dukun dan berbekal keilmuan bahwa demam tersebut tidak akan membahayakan sang anak, kami memilih untuk tidak melakukan intervensi medis seperti memberi obat kepada sang anak malam itu. Tapi, kami tetap mengawasinya sepanjang malam dan memotivasi untuk minum sebanyak-banyaknya untuk mengganti cairan yang hilang saat demam.

Keesokan harinya, sang anak terlihat lebih segar. Mungkin karena pasokan cairan yang kami pantau semalaman. Tapi, keluarga memutuskan untuk menambah pengobatan dengan menaikkan tingkatan sesajen dan ritual.

Ternyata dalam tradisi pengobatan tradisional Suku Bajo terdapat tingkatan pengobatan. Biasanya, pengobatan dimulai dari yang paling sederhana. Bila belum sembuh, akan ditingkatkan dan akan terus ditingkatkan sampai kelas yang paling tinggi, yaitu Duata, pemberian sesajen secara besar-besaran yang membutuhkan dana tidak sedikit.

Kami sebetulnya mulai agak resah membiarkan sang anak demam tanpa intervensi. Tapi karena kami yakin demamnya tidak berbahaya, kami tetap membiarkan mereka melakukan apa yang mereka yakini. Keluarga sang anak yang sakit ini memancarkan kesabaran dan ketenangan dalam kecemasan mereka, menyerahkan semua proses penyembuhan  kepada alam sambil terus mengupayakan hal-hal yang mereka yakini dapat memulihkan kondisi sang anak.

Kaderisasi Kesehatan di Tomia

Kami lanjutkan perjalanan kami ke Pulau Tomia untuk bertemu seorang sejawat yang mengabdikan diri selama empat tahun terakhir di sana.

Dr. Yudi adalah seorang dokter yang telah 4 tahun mengawal masyarakat Tomia menjaga kesehatan. Selain memberi jasa pelayan kesehatan, sebagai seorang dive master, dr. Yudi memanfaatkan waktu luangnya menemani para wisatawan yang ingin menyelam di Tomia, yang memang terkenal memiliki banyak tempat-tempat menyelam yang cantik.

Yudi pun menemani kami mendatangi Lamanggau, salah satu pemukiman suku Bajo lainnya di Wakatobi. Jumlah suku Bajo di Lamanggau tidak terlalu banyak. Namun, usaha kesehatan di sini justru lebih maju dibanding dua tempat yang kami datangi sebelumnya. Kaderisasi masyarakat dilakukan sebagai perpanjangan tangan pusat kesehatan, sehingga masyarakat memiliki kesadaran yang cukup baik akan kesehatan serta tidak ragu menggunakan fasilitas kesehatan bila membutuhkan.

Dari bincang-bincang kami dengan dr. Yudi, kami sama-sama melihat satu masalah yang jelas dari tempat-tempat yang kami datangi, yaitu kurangnya air bersih dan sanitasi. Kurangnya fasilitas MCK yang layak dan sulitnya pengadaan air bersih menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam mewujudkan masyarakat yang sehat di Wakatobi.

Akhirnya kami kembali mengarungi lautan selama 6 jam untuk kembali ke Wangi-wangi dengan perahu kayu bermotor yang memaksa tubuh kami sekali lagi mengakui lemahnya sistem keseimbangan kami.

Di antara perjuangan mempertahankan keseimbangan dan usaha untuk tidak mengeluarkan isi perut saya akibat mabuk laut, saya sekali lagi tertegun mengingat suku Bajo yang hidup di laut dan para nelayannya yang sanggup melaut berhari-hari. Sungguh suatu bukti nyata betapa tubuh manusia mampu beradaptasi dengan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan dan gaya hidupnya.

Prosesi membuang sesaji pada upaca pengobatan tradisional di Sampela (Dok. KompasTV)

_______________________________Melalui program dokumenter, "Doctors Go Wild", Kompas TV mengajak dua dokter untuk mengeksplorasi berbagai tempat di pelosok Nusantara, melihat dan mempelajari berbagai tata cara serta keunikan pengobatan tradisional yang dilakukan masyarakat setempat.