Gang Dolly, Dolly, Siapa Dia? (II)

By , Rabu, 25 Juni 2014 | 13:50 WIB

"Aku ingin tahu rasanya mengurus orang banyak. Aku pernah diangkat sebagai anak oleh orang, jadi ingin tahu rasanya momong orang banyak. Aku seneng. Aku tidak kaya, tapi cukup untuk makan. Aku bahagia."

Pada tahun 1990-an Dolly memang lebih banyak bermukim di Malang. Setidaknya ia menanggung kehidupan 10 orang. Semuanya sudah diangap anak dan cucu sendiri, termasuk seorang perempuan penderita kanker. Saat itu sudah 10 tahun Dolly merawatnya.

Mungkin karena kedekatannya, banyak orang menduga Dolly adalah lesbian. Dugaan lesbian itu bisa jadi terbentuk karena gaya Dolly yang cenderung tomboi. Apalagi sebagai germo, predikat yang dipakai adalah "papi" bukan "mami". Ya, orang memanggilnya "Papi Dolly".

"Aku tidak lesbian. Aku tidur juga sendiri-sendiri. Aku nolong orang kok dikatakan lesbian," nada suaranya agak gusar.

Anak Dolly ada lima. Di antaranya ada satu anak kandung. Salah satu anak angkatnya adalah anak angkat mantan "mami"-nya, Tante Beng. "Tante Beng itu nggak pernah melahirkan, tetapi ingin punya anak. Begitu mengambil anak kecil. Aku yang ngopeni. Anak itu baik. Mengerti sama orangtua," tuturnya.

Bersama anak dan cucu Dolly merasa bahagia. Ia bahkan menganggap tidak perlu menikah lagi. Sebuah keputusan yang sudah ia niatkan sejak sang suami meninggal.

Dolly hanya ingin merawat—terutama—anak kandungnya. Anak satu-satunya yang ia katakan sebagai tempat curahan kasih sayang.

"Menurut pengalamanku aku tahu banyak lelaki yang kurang ajar. Mungkin karena mereka enggak pernah melahirkan. Dan aku pernah melahirkan. Melahirkan itu susah. Anakku lahir dengan tohpati, ditarik dengan tang."

Ironisnya, pada tahun Dolly diwawancara, ia tengah bersitegang dengan sang anak kandung. Urusannya bahkan menggelinding hingga ke jalur hukum.

Usianya sudah lewat 62 tahun saat itu. Mulai sepuh dan sering batuk. Cuma, dalam kondisi seperti itu, ia masih merokok. Sehari lima bungkus. Bahkan lebih.

Perempuan yang sehari-hari gemar mengenakan kemeja dan kain sarung itu bilang ia akan menjual semua wismanya di Gang Dolly. Uang yang terkumpul akan dijadikan modal usaha di Malang. Usaha apa?

Dolly sendiri agak bingung. Pada tahun 90-an ia sempat berjualan batik, sarung dan seprei yang didatangkan dari Yogya atau Solo. Tetapi nampaknya usaha itu tidak berjalan lancar.

Lebih dari 20 tahun sejak wawancara, kabar dari "Legenda Surabaya" itu nyaris tak terdengar. Kita kembali teringat ketika ribut-ribut penutupan Gang Dolly.

"Ya memang aku yang pertama kali membuka di sana. Tapi waktu mbangun aku bukan germo. Tak bangun lalu tak sewakan. Jadi aku bukan germo. Dan aku heran di Gang Dolly itu yang kaya malah jadi kaya dan enak-enak. Tapi yang jadi sasaran kok aku? Kok namanya jadi Gang Dolly?"

Keinginannya untuk menghapus nama Dolly dari kawasan itu, barangkali sudah didengar. Kini setelah hampir setengah abad berkembang Gang Dolly ditutup.

Ah, Dolly, Advenso Dollyres Chavit. Ia mungkin tak menyangka. Bahwa kisah hidupnya bakal tersangkut kepada nama kawasan prostitusi yang pernah menyandang predikat terbesar di Asia Tenggara.