Memberi Energi pada Kota

By , Jumat, 27 Juni 2014 | 19:58 WIB

Seluruh dunia mengalami perkembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu bertumbuhnya kota-kota di negara berkembang dengan cepat. Dalam sejarah, kota yang bisa saja besar, sedang, atau kecil akhirnya menjadi hunian akhir sebagian besar populasi.

Itu sebabnya perhatian pada perkembangan kota-kota, termasuk di Indonesia, menjadi penting. Bila sedikit melihat data statistik, Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di kota saat ini ada 53 persen, bertambah lebih empat persen dari tahun 2010. Tren ini terus berlanjut dan pada tahun 2025 diperkirakan menjadi 60 persen, kira-kira sejumlah 164 juta orang.

Pertumbuhan kota-kota di Indonesia merupakan bagian dari tren di negara-negara berkembang dan terutama kebangkitan Asia sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia abad ke-21.

Kota memang sejak awal menjadi pusat pertumbuhan, menarik orang-orang berketerampilan dan bisnis, serta membuat kegiatan ekonomi memiliki skala berarti.

Lembaga kajian McKinsey Global Institute menyebut, kecepatan pertumbuhan kota-kota saat ini belum pernah terjadi sebelumnya. Urbanisasi menjadi pendorong utama naiknya pendapatan per orang dan keduanya cenderung tumbuh bersama-sama sehingga kota menjadi sumber pertumbuhan ekonomi penting secara nasional.

Pertumbuhan tersebut pada gilirannya akan mendorong kebutuhan baru. Bukan hanya infrastruktur fisik, seperti sistem transportasi massal yang andal, hunian, air bersih, sarana kesehatan dan pendidikan, tetapi juga meningkatnya tuntutan akan kualitas barang dan jasa.

Meskipun Jakarta pada tahun 2030 akan menjadi kota mega berpenduduk lebih dari 12 juta orang, tetapi McKinsey memperkirakan pertumbuhannya stabil. Ini berbeda dari India dan Tiongkok yang pertumbuhan ekonominya dipicu berkembangnya kota-kota besar menjadi kota mega.

Di Indonesia, yang justru tumbuh cepat kota-kota berukuran besar dan menengah, berpenduduk 2-5 juta orang. Yang menarik, 90 persen kota-kota yang pertumbuhannya akan tinggi, di atas 7 persen, ada di luar Jawa.

Bonus demografi jugaa menjadi sumber pertumbuhan kota-kota.

Mengukur kota

Sumber pertumbuhan kota bermacam-macam. Untuk laporan kali ini, Kompas menurunkan laporan mengenai kota-kota yang dalam pantauan awal tumbuh secara fisik dan para pemangku kepentingannya secara kreatif memanfaatkan kekuatan dan keunikan kota. Ada ruang tumbuh bagi warga berpartisipasi, terutama dalam kegiatan yang memerlukan daya olah kreatif.

Capaian kota tersebut tidak terjadi dalam setahun atau dua tahun. Jakarta, misalnya, bandar internasional yang aktif sejak 500 tahun lalu. Sawahlunto berbenah lebih 10 tahun setelah ekonomi batubara pudar.

Jumlah kelas menengah yang bertambah cepat bukan haya akan mengonsumsi, tetapi juga berproduksi. Tingkat pendidikan dan keterampialn yang lebih baik menciptakan berbagai kegiatan yang produktif bagi kota.

Kota juga harus memberi stimulasi, kegairahan, karena orang-orangnya mudah berhubungan dan berkomunikasi, termasuk dengan dunia luar. Membuat orang merasa memiliki privasi,  tetapi terkoneksi dengan mudah dengan dunia luar.

Tantangan bagi perencana kota adalah mencipatkan kota yang seimbang. Karena itu hunian seimbang harus ada di dalam kota, bukan seperti yang diusulkan para pengembang membuat hunian sederhana di pinggiran kota, bahkan membuangnya ke luar kota. Sebabnya, kota harus mampu menampung keberagaman, termasuk tingkat sosial ekonomi.

Kota adalah manusia

Mungkin tidak ada kota yang benar-benar ideal yang memberi ruang publik sehingga orang bebas bergerak dan berhubungan, termasuk menikmati pengalaman berbelanja atau menyisir kota tua dan sekaligus memberi ruang bening untuk kontemplasi.

Namun, kota harus memiliki tujuan jelas akan menuju ke mana dan menjadi apa. Yang pasti, pembangunan fisik bukanla tujuan, tetapi cara membuat kota nyaman dihuni. tiap kota memiliki keunikan dan tantangan sehingga tidak ada satu resep yang sama untuk setiap kota.

Ada kota-kota yang sudah terberkati warisan budaya sehingga tantangannya memelihara agar keunikan itu tidak hilang.

Itu yang membuat Ubud, Bali, dirindui banyak orang. Kegiatan yang diorganisasi warga, bisa orang Ubud atau warga dunia, menjadi hal yang biasa. TEDx, yaitu program yang asalnya dari California dan diorganisasi secara lokal, misalnya, akan kembali diadakan di Ubud, Bali, pada September.

Bandung contoh lain. Kota ini ciptaan Belanda dan sejak awal terbuka pada berbagai etnis dan budaya, seperti julukannya, Paris dari Jawa.

"Pergaulan internasional terus berjalan. Penduduknya 2,5 juta orang, pengguna Facebook ada 2 juta orang dan jumlah kicauan (di Twitter) nomor enam terbanyak di dunia," kata Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.

Kota ini tidak asing dengan teknologi karena memiliki lebih dari 80 perguruan tinggi. Penduduknya 60 persen berusia 40 tahun. Bandung juga punya modal sosial sangat kuat, warga sangat kuat, warga sangat mencintai kotanya—terbukti dengan ada 4.000 komunitas.

Satu faktor lagi yang tidak bisa dianggap remeh, kota ini berhawa sejuk. Siapa pun yang pernah ke Bandung pasti setuju, udara Bandung enak untuk nongkrong di restoran dan kafe yang tersebar di mana-mana. Setiap kali selalu ada yang baru, seperti Miss Bee Providore di Ciumbuleuit yang bergaya minimalis-alamiah dan menyediakan sarapan. Dari sarapan pagi bersama, pasti lahir ide untuk mengerjakan proyek atau kegiatan baru bersama.

Kekuatan sosial seperti itu yang akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan warga.

Bila setiap pemangku kepentingan di kota-kota mengenali kekuatan di dalam kota dan memiliki kepemimpinan yang efektif dan visioner, prediksi McKinsey kota-kota menengah dan besar akan tumbuh pesat tidak akan terlalu meleset.

Jakarta boleh jadi tidak akan lagi menjadi satu-satunya lampu penarik laron urbanisasi. Bahkan warga Desa Cibeduk di Ciawi, Bogor, Jawa Barat, pun berani bermimpi kawasan itu menjadi kota kecil di kaki Gunung Gede dan menyajikan kopi Arabika dari sebuah kafenya.