Masyarakat Tionghoa dalam Era Baru Demokrasi Kita

By , Sabtu, 28 Juni 2014 | 21:36 WIB
()

Contoh lainnya adalah bos Lion Air Rusdi Kirana—pebisnis keturunan Tionghoa—juga secara terbuka menyatakan dukungan ke partai Islam, Partai Kebangkitan Bangsa. Keputusan—yang dikutip oleh beberapa media—dibuat karena Rusdi merasa "terinspirasi oleh sosok Gus Dur yang memperjuangkan hak-hak warga Tionghoa". 

Terlepas dari kontroversi dukung-mendukung parpol, munculnya warga etnis Tionghoa di panggung politik mencerminkan kebebasan dan demokrasi. 

Pelaksana tugas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama misalnya, terbukti diterima baik oleh warga Jakarta dan menjadi pusat perhatian media karena kinerjanya yang dianggap baik dan tegas. 

Bagi Yandy pribadi ini menjadi ajang pembuktian: "Ini menjawab kepada publik bahwa penilaian terhadap kita (Tionghoa) ada yang keliru. 

"Buktinya ketika kita diberikan kesempatan di sektor politik ternyata kita mumpuni." 

Dia mengaku terinspirasi sosok politisi dan reformis Tiongkok, Deng Xiaoping, yang setelah kematian Mao Zedong mampu memimpin negara itu menuju kejayaan ekonomi. 

"Beliau mengatakan tidak peduli itu kucingnya hitam ataupun kucingnya putih yang penting kucingnya bisa menangkap tikus." 

"Artinya apapun namanya, ketika itu bermuara pada kesejahteraan rakyat dan pembangunan yang baik, itu harus dilakukan. Karena kita sering terfokus pada namanya (identitas), kita lupa bagaimana cara mensejahterakan masyarakat kita." 

Tak ada resistensi 

Sejak era kepeminpinan Abdurrahman Wahid, tembok batas diskriminasi atas warga Tionghoa memang perlahan terkikis selapis demi selapis. 

Sofjan Wanandi—mantan aktivis 1966 berdarah Tionghoa—mengakui bahwa kini orang Tionghoa yang berpolitik dan duduk di pemerintahan sudah tidak lagi dianggap 'ajaib' oleh orang kebanyakan. "Keinginan (warga Tionghoa) untuk juga berpolitik dan jangan bisnis saja, itu sudah terjadi. Dan menurut saya baik, ada tanggung jawab sosial juga kepada bangsa, dulu kan tidak boleh. Saya melihat sudah tidak banyak resistensi lagi," katanya. 

Benny Setiono, salah satu pendiri dan aktivis Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) juga sependapat. 

"Contoh dua tahun lalu, Ahok dicalonkan jadi wakil gubernur. Ada usaha dari pihak tertentu yang mengatakan dia Tionghoa dan dia Kristen, ternyata kan warga Jakarta tidak menggubris dan malah jadi bumerang." 

"Hary Tanoe, terlepas kita setuju atau tidak setuju—ketika dia mencalonkan jadi wakil presiden, walau tidak mungkin berhasil karena partainya kecil, tapi kan tidak ada resistensi yang mengarah ke dia. Walau ada, isu itu tidak berhasil dan jumlahnya kecil sekali." 

"Ini yang menggembirakan, etnis Tionghoa sudah mulai diterima dan diakui eksistensinya sebagi bagian integral dari bangsa Indonesia."