Berpagar Gunung, Beratap Langit

By , Senin, 30 Juni 2014 | 21:51 WIB
()

Di sini, gunung, laut, dan langit seakan menjadi koridor tak bertepi. Keindahannya membingkai Whistler, kota kecil yang terletak di ujung Kanada. Inilah surga bagi para pencinta alam.

Suasana yang serba dekat dengan alam sudah terasa ketika menaiki kereta api Rocky Mountaineer, kereta api khusus yang berangkat dari stasiun di Vancouver menuju Whistler, British Columbia. Sulit untuk memalingkan mata dari jendela yang sepanjang 3,5 jam perjalanan menyajikan bingkai keindahan alam liar yang serba ekstrem. Jajaran pegunungan yang puncaknya berselimutkan es, terowongan batu cadas yang panjang dan berliku, jurang dengan gemuruh sungai dan air terjun.

Setengah jam kemudian kereta api perlahan melaju memasuki Howe Sound, kota sunyi yang memiliki danau indah dengan latar belakang pegunungan yang puncaknya tertutup gletser dan jajaran hutan pinus. Sebagian dari kami buru-buru meninggalkan tempat duduk dan masuk ke gerbong terbuka, yang merupakan gerbong kereta api antik peninggalan tahun 1914. Dari sini, pemandangan alam terpapar tanpa penghalang. Angin dingin keras menerpa wajah, bercampur dengan gerimis hujan. Kabut yang menyelimuti ceruk dan jurang tak bisa menutupi gemuruh suara deras jeram sungai di bawah sana.

Tapi ini baru permulaan. Memasuki area Squamish dan berlanjut ke Cheakamus Canyon, keelokan alam di depan mata merenggut semua perhatian. Kereta melintas perlahan di antara batu-batu granit monolit raksasa yang tingginya sekitar 700 meter dengan umur sekitar 93 juta tahun!

Setelah Zaman Es, warna batu granit ini terpoles alami sampai saat ini. Sesuai namanya, Squamish atau the birth of the wind, di sinilah para petualang dan pemanjat tebing kelas dunia menguji nyali di Stawamus Chief, monolit dengan struktur ekstrem yang berwarna hitam keabuan dengan sisa gletser di puncaknya. Ketika kepala mendongak, betapa kecil rasanya berada di tengah impitan ”tembok” granit yang menjulang beratap langit.

Memasuki lintasan yang menanjak sampai ketinggian 600 meter dan menikung hampir 90 derajat, kepala dan ekor gerbong nyaris berhadapan, mengikuti kontur jurang, meniti jembatan sempit.

Di bawah terhampar sungai jernih berwarna kehijauan membelah lembah, gunung, dan hutan pinus, membentuk lekukan indah. Di titik ini, bertemulah kita dengan ”sumbernya”, sebuah air terjun setinggi 60 meter, Brandywine Falls, yang limpahan airnya deras menerjang bebatuan, membentuk kabut putih yang basah.

Jalur hiking

Hujan dan udara dingin menyambut kami di kota Whistler yang dikelilingi lima danau dan pegunungan. Puncak pegunungan Whistler dan Blackcomb yang berselimutkan salju menyembul dari balik awan hitam. Inilah pula surga bagi pencinta olahraga outdoor.

Arena ski, snowboarding, sepeda gunung, whitewater rafting, trekking, hiking, semua dalam jangkauan.

Rinai hujan tak menghentikan niat untuk menghirup dalam-dalam udara segar dengan wangi hutan yang tajam menerpa hidung, membawa kami ke jalur hiking Lost Lake. Beragam jalur hiking tersedia di hutan-hutan Whistler, tergantung dari tingkat kesulitan. Jalur mana pun yang diambil (3 sampai 8 jam), semua bisa dilakukan mandiri tanpa perlu pemandu.

Whistler sangat memanjakan warganya. Papan penunjuk, peta lokasi, ataupun gerai informasi tersedia di titik-titik yang rawan membuat pelintas tersesat. Bahkan, jalan setapak di tengah hutan pun ada rambunya. Jadi, kita tak perlu khawatir bertabrakan dengan pengemudi sepeda trail yang sering ngebut di turunan bukit.

Puncak pegunungan yang selalu diselimuti es itu terlihat ”dekat” di depan mata dengan ceruk-ceruknya yang gelap kebiruan. Sulit rasanya mengabaikan panggilannya untuk mendekat. Keinginan itu diakomodasi dengan relatif mudah. Gunung Blackcomb (2.440 m) dan Gunung Whistler (2.182 m) ”dihubungkan” lewat gondola listrik yang terpanjang (sekitar 4,4 km) dan tertinggi di dunia.

Ketika tabung kaca yang kami naiki bergerak perlahan menembus awan tebal dan suasana sekeliling menjadi senyap, yang ada hanyalah kita dan keagungan alam. Perkampungan modern di pusat kota yang sarat hotel dan kafe itu perlahan menjadi kumpulan noktah. Danau-danau yang mengelilingi Whistler tak ubahnya kolam-kolam biru mungil yang tersebar di ranah hijau. Lekuk-lekuk pucuk gunung yang tertutup es berkilauan ditimpa matahari. Inilah kesempatan untuk mengagumi gletser-gletser purba beserta hutan-hutan pinusnya yang rapat tak terjamah dan menjadi rumah nyaman bagi komunitas beruang.

Perjalanan di atas awan sekitar 30 menit itu berujung di lembah Blackcomb yang tertutup salju. Suhu udara langsung drop di bawah nol derajat. Puncak gunung kini tak lebih dari ”bukit” putih. Sejauh mata memandang hanyalah hamparan putih dan putih. Namun, tempat ini tak lagi senyap, tapi riuh oleh kehadiran para pemain ski, snowboarding, dan tubing. Sebagian melesat cepat di jalur yang dibatasi pohon pinus, sebagian lagi meluncur dan bergulingan di atas karpet salju yang tebal.

Angin dingin tajam menghunjam telinga dan wajah. Mata segera menyapu ke sekeliling. Dan, ya, itu yang kami cari. Sebuah kafe yang merupakan aroma harum kopi dan keju panggang.