Dedikasi dan Pengabdian Abdi Keraton

By , Selasa, 8 Juli 2014 | 20:30 WIB
()

Arbaina (92) duduk di salah satu tiang di dalam Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Kalimantan Timur, Minggu (22/6). Sesekali dia memberi arahan kepada para belian, pangkon, dan dewa yang tengah bersiap menemani Sultan Aji Muhammad Salehuddin II (89) dalam membuka ritual Siram-siraman, upacara puncak Erau. Belian, pangkon, dan dewa merupakan sebutan untuk para pelayan Sultan.

Meskipun berjalan sangat pelan dan pendengaran berkurang, semangat Arbaina sebagai salah satu dewa tak lekang. ”Itu wadahnya jangan dibuka dulu. Kerisnya ditata lagi,” kata Arbaina kepada seorang pangkon.

Arbaina menjadi abdi Kesultanan Kutai Kertanegara sejak berusia 17 tahun menggantikan ibunya. Dia bekerja melayani keluarga Keraton Kutai Kartanegara saat masih dipegang Sultan Aji Muhammad Parikesit, sultan ke-20.

Keponakan, cucu, dan kerabat Sultan Aji Muhammad Salehuddin II berfoto bersama di Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Minggu (22/6/2014). (Mohammad Hilmi Faiq/Kompas)

Dia bertugas menyediakan makanan dan menata pakaian keluarga keraton. Dia juga menemani Aji Pangeran Adipati Prabu Anom Surya Adiningrat yang kelak menjadi sultan dan bergelar Sultan Aji Muhammad Salehuddin II. ”Sejak kecil dia suka main bola dengan anak-anak orang biasa. Dia juga rajin baca buku. Setelah itu dia sekolah ke Belanda,” kata Arbaina.

Bekerja sebagai dewa bukan untuk mendulang harta bagi Arbaina. Hingga saat ini, upahnya hanya sekitar Rp 1 juta. Namun, dia merasa damai dan mencintai pekerjaannnya. Oleh karena itu, meskipun renta, ia tetap melayani Sultan. Arbaina kini memiliki 20 anak yang siap melanjutkan pekerjaan Arbaina jika kelak dia mangkat.

”Kami terus belajar dari ibu tentang cara atau tata aturan bekerja di keraton, makanya kami sering ikut ke sini,” ujar Aidal (50), anak Arbaina.

Tugas mulia panglima

Tak jauh dari tempat Arbaina duduk, Panglima Aji Pameng Fadli (54) berdiri lengkap dengan pedang yang diikat sarung di samping pinggulnya. Rambutnya keperakan ditutup kain batik, lengannya yang kekar dibalut beberapa gelang batu. Jemarinya dihiasi batu akik warna-warni. Tatapan matanya tajam ke depan seperti siap menghadang setiap lawan.

Fadli awalnya seorang petugas keamanan di sebuah bank dengan gaji tak kurang dari Rp 4,5 juta per bulan. Sepuluh tahun lalu, dia dipanggil Sultan untuk menjadi panglima memimpin para prajurit di keraton. Jangan tanya gaji, karena jumlahnya kini menyusut hingga tinggal 10 persennya.

”Jarang sekali yang dipanggil sebagai panglima. Ini tugas mulia, tak bisa dibandingkan dengan bayaran sebesar apa pun. Cukup upah kami dengan doa,” kata Fadli.

Fadli mendapat tugas itu karena kakek dan leluhurnya pun mempunyai tugas yang sama. Tentu bukan itu saja. Fadli menguasai ilmu kanuragan dan kemampuan melihat kehidupan dalam dimensi lain. Sebagaimana Arbaina, Fadli yang mempunyai delapan anak dan 16 cucu ini tengah mewariskan ilmunya agar kelak muncul generasi sebagai pendekar yang siap menjaga keraton.

Arbaina dan Fadli tidak mempunyai pekerjaan sampingan. Namun, mereka tidak pernah kekurangan pangan. Mereka memercayai hidup penuh berkah karena mengabdi kepada Sultan, wakil Tuhan memimpin rakyat.

Emas hitam

Kegiatan Sultan sehari-hari tak ubahnya warga pada umumnya. Dia menyempatkan jalan kaki pada pagi hari dilanjutkan dengan sarapan. Jika tidak ada kesibukan lain, dia membaca buku-buku berbahasa Belanda.

Kadang, Sultan menemui tamu. Ada yang datang dari pemerintah daerah ataupun dari Jakarta. Ada juga warga yang mempunyai permasalahan dia persilakan untuk datang. ”Pemerintah Kabupaten Kutai hampir selalu meminta pertimbangan Sultan sebelum membuat keputusan strategis,” kata Haryanto Bachrul, Menteri Sekretaris Keraton yang juga sepupu Sultan Aji Muhamad Salehuddin II.

Bachrul merupakan bekas Sekretaris Daerah Pemkab Kutai Kartanegara yang sudah pensiun. Dia sempat mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif daerah tetapi gagal. Kini dia mengabdi sebagai menteri membantu jalannya Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Kerabat keraton melebur ke dalam masyarakat dengan berbagai profesi. Sebutlah Aji Awang (35) yang masih termasuk cucu Sultan. Dia kini sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada Dinas Pendapatan Daerah Kalimantan Timur. Dalam keseharian, dia merasa sebagaimana warga lainnya, tidak ada keistimewaan meski masih trah keraton. Baginya, yang membedakan adalah karya dan kerja keras, bukan gen.

Awang menyadari, posisi kesultanan, baik secara politik maupun ekonomi, tidak sekuat dulu lagi, terutama sejak Indonesia merdeka. Oleh karena itu, jika keluarga keraton tidak sekolah dan bekerja, sulit mempertahankan martabat.

Awang bersama keluarga keraton lainnya tengah menggagas kemungkinan pendirian perusahaan tambang batubara. Ini untuk menopang perekonomian keraton agar tidak melulu mengandalkan bantuan dari Pemkab Kutai Kartanegara.

Dalam buku Kesultanan Kutai 1825-1910 susunan Ita Syamtasiyah Ahyat, disebut sejak ditemukan batubara atau emas hitam di Pelarang, Kutai, pada 1845 oleh Morgan, orang Inggris yang bekerja pada agen perdagangan GP King, Kutai memiliki potensi ekonomi luar biasa. Dulu batubara hanya digunakan bahan bakar kapal-kapal perang Belanda.

Emas hitam itu mendongkrak kejayaan Kabupaten Kutai Kartanegara. Saat ini terdapat tak kurang dari 90 perusahaan batubara dengan tingkat produksi sampai 29 juta metrik ton per tahun. ”Kami ingin sebagian hasil alam itu memajukan keraton,” kata Awang.

Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura bertahan antara lain oleh dukungan-dukungan tulus orang- orang seperti Arbaina dan Fadli. Pengerukan emas hitam di wilayah Kutai selayaknya turut mengangkat kehidupan keraton yang tentu berdampak kepada para abdinya.