Tarling, Musik Khas Indramayu Tentang Ketabahan dalam Penderitaan

By Galih Pranata, Rabu, 6 Oktober 2021 | 15:00 WIB
Ipeng Supendi, (tokoh tarling) tengah memainkan gitarnya sambil mengenakan busana muslim dan sarung, berlatar karung beras, menggambarkan kehidupan di wilayah Pantura. (Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat)

GAYA MUSIK TARLING DARI PENGARUH GEOGRAFISNYA

Suwarjono, seorang bapak berusia 53 tahun, duduk di serambi rumahnya, tengah bersantai sambil menikmati musik tarling dari radionya. "Sudah sejak kecil saya mendengar tarling dari radio," ungkapnya kepada National Geographic Indonesia. Ia merupakan penikmat setia musik tarling.

Ia berasal dari wilayah pesisir utara Subang, tepatnya di daerah Pusakajaya, dekat dengan Pantai Patimban. "Mulai dari Indramayu, Cirebon, sampai Subang bagian Pantura, pasti kenal sama yang namanya tarling," ungkap Suwarjono. 

Kesenian tarling lebih populer di daerah Indramayu dan Cirebon, serta beberapa wilayah lain seperti wilayah Pantai Utara Subang juga turut dalam tren musik tarling. Wilayah geografis pesisir utara lantas memengaruhi gaya musik tarling.

"Masyarakat di daerah pesisir, seperti contohnya orang-orang di sepanjang wilayah Pantura, lebih terbuka dan suka mengungkapkan perasaannya langsung secara omongan (verbal)," jelas Suwarjono berdasar pengamatannya.

Baca Juga: Seni yang Menyembuhkan: Upaya Tepis Krisis Mental Saat Pandemi

Tarling adalah salah satu bentuk kesenian yang berkembang di wilayah pesisir pantai utara Jawa Barat, terutama wilayah Cirebon dan Indramayu. Nama tarling diidentikkan dengan nama instrumen sitar dan suling serta istilah 'Sing nelatar kudu eling, Eling kepada Tuhan Yang Maha Esa, Eling terhadap tanah kelahirannya.' (KASKUS)

Hal tersebut dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan Rijal Abdillah dan Koentjoro dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam tulisannya yang dimuat pada jurnal Psikologika, berjudul Nilai dan Pesan Moral Tarling Menurut Perspektif Pelaku Kesenian Tarling Cirebon: Studi Psikologi Budaya, terbit pada 2015.

"Pola interaksi yang diturunkan sejak nenek moyang dalam perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Pesisir Utara Jawa, utamanya di Cirebon, mengubah watak penduduknya menjadi terbuka dan berbicara teus terang (apa adanya) dalam mengutarakan perasaannya," tulisnya.

Oleh karena itu, nilai dan makna yang terkandung dalam seni Tarling lebih diarahkan pada segi hiburan, namun disertai dengan syair-syair yang menceritakan ketabahan dalam menghadapi penderitaan. "Itu jadi gaya yang disukai oleh orang-orang Pantura, mulai dari nelayan sampai petani, karena lebih mengena (melalui syair-syairnya)," ujar Suwarjono.

Syairnya ditulis dengan menggunakan basa Cêrbon atau bahasa Cirebon. Salah satu contoh kutipan syair dari lagu berjudul Diusir Laki ciptaan Almin Said.

Apa nasibe badan (Bagaimana nasib diri)Laki doyan demenan (Suami suka pacaran)Sekien kawin maning (Sekarang menikah lagi)Ning kula ora eling (Tapi aku tidak tahu)

Kula kien diusir (saya sekarang diusir)Ning laki konkong nyingkir (sama suami disuruh pergi)Megat tanpa lantaran (Cerai tanpa alasan)Bli eman keturunan (Tidak sayang keturunan/anak-anak)

Lirik dan syairnya begitu menyayat hati, keluar dari perasaan penggubahnya. Gaya bahasa yang digunakan sangat terbuka dan apa adanya. Itu menjadi identitas tersendiri bagi musik tarling, yang tentunya dipengaruhi kondisi geografis dan masyarakat pendukungnya.