Suhendri Tak Kenal Lelah Mewujudkan Hutan Kota Tenggarong

By , Jumat, 11 Juli 2014 | 20:43 WIB
()

Kalimantan Hutan Bangris

 Bangris digasak illegal logging

 Hutan habis tinggal menangis

Pusing tujuh keliling.

Begitulah sebait puisi yang tertulis di lembar papan di tengah kerimbunan pepohonan tertata rapi, hijau dan indah di jalan Pesut, Kelurahan Timbau, Tenggarong Kalimantan Timur.

Suasana segar alami akan semakin terasa begitu memasuki kawasan seluas 3 hektare itu. Pondok sederhana namun unik akan menyambut siapa saja yang melangkah memasuki semacam pintu gerbang sebagai penanda keberadaan kawasan wanatani milik Suhendri. Pondok berdinding dan berlantai kayu itu merupakan ruang tamu sekaligus kedai kopi tempat Suhendri bercengkrama dan bertukar cerita dengan para tetamunya.

“Awalnya saya datang ke sini untuk bekerja di  persemaian milik Dinas Kehutanan,” ujar Suhendri, lelaki lewat paruh baya itu membuka perbincangan siang itu dengan Mongabay Indonesia.

Suhendri ingin mewujudkan mimpi membangun wanatani di tengah kota Tenggarong.

“Saya prihatin dengan kekayaan hutan Kalimantan Timur yang dibiarkan habis dibabat oleh perusahaan HPH,” lanjut Suhendri. “Padahal tanah disini cocoknya untuk tanaman jangka panjang, tanaman keras. Usaha perkebunan dan kehutanan yang harus diutamakan. Kalau untuk tanaman pangan ya biarlah di Jawa dan Sumatra saja.”

Menurutnya, untuk membangun hutan, sebenarnya tidak membutuhkan modal yang amat besar, tetapi lebih kepada niat, kesungguhan, ketekunan.

Selama lebih 30 tahun ini, Suhendri telah membuktikan bahwa ia mampu untuk menghijaukan wilayah hutan, yang kini bak oase oksigen bagi kota Tenggarong.

Sosok Suhendri, atau akrab dipanggil Mbah Hendri, sendiri sebenarnya bukan asli Tenggarong, melainkan Sukabumi, Jawa Barat. Ia lahir tak lama sesudah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya tanggal 3 September 1945.

Karier di persemaian tidak berlangsung lama, tahun 1976 Suhendri berhenti dari pekerjaannya untuk memulai usaha mandiri kedai kopi sekaligus merintis usaha wanatani yang lahannya saat itu ia beli seharga seratus ribu rupiah.

Tahun 1985, Suhendri mulai menanam bibit damar (Agathis Lorantifolia) yang ia peroleh dari rekannya di Sukabumi. Saat itu, banyak orang yang ragu kalau pohon itu bakal tumbuh di Tenggarong. Biasanya damar hanya tumbuh pada lokasi dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan air laut, sementara Tenggarong mempunyai ketinggian hanya 30 meter di atas permukaan air laut.  Keraguan itu sontak sirna saat Suhendri ternyata bisa menumbuhkan bibit pohon itu dengan baik. Padahal ia mengaku tidak memiliki latar belakang kehutanan dan hanya berbekal pengalaman selama bekerja di persemaian.

Dengan kegigihannya lahan yang kala pertama dibeli masih berupa alang-alang kini telah berubah menjadi hutan dengan koleksi lebih dari 50 spesies tanaman. Ada kurang lebih 600 tegakan berbagai jenis pohon seperti damar, meranti, kapur, pinus, kayuputih, ulin dan sengon. Di sela-sela tanaman itu, Suhendri melakukan tumpang sari dengan menanam kopi dan teh.

Dengan lebih dari 30 tahun mengolah dan merawat lahan yang asri ini, telah banyak penghargaan baik dari pemerintah nasional, provinsi dan kabupaten diperoleh oleh Suhendri.

Salah satu yang membahagiakan adalah kala dirinya diundang untuk menghadiri peringatan HUT Proklamasi di Istana Negara. Pada kesempatan itu dia sempat bertemu dan bersalaman dengan Presiden Suharto menjelang berakhir masa pemerintahannya.

Deretan prestasinya bila dijajarkan akan terlihat panjang. Apa yang dilakukannya juga kerap diaku oleh pihak-pihak tertentu. Dimasukkan dalam laporan atau pemilaian agar pihak tertentu itu bisa beroleh sebuah penghargaan.