Untuk kesekian kalinya, Israel dan Palestina terlibat baku tembak yang sudah menewaskan ratusan orang, sebagian besar adalah warga sipil.
Perang ini merupakan bagian dari sebuah konflik panjang lebih dari 60 tahun di kawasan tersebut. Sejak berakhirnya Perang Enam Hari pada 1967, dunia internasional mulai bergerak mendorong terciptanya perdamaian di kawasan itu.
Kompas.com mencoba mengupas sejumlah proses perdamaian di Timur Tengah baik yang berhasil maupun yang masih terkatung-katung hingga kini.
SEJAK Perang Enam Hari 1967, terdapat sejumlah rencana perdamaian, tetapi belum satu pun terlaksana sebelum berakhirnya Perang Yom Kippur pada Oktober 1973. Awal mula perundingan damai Arab-Israel dimulai dengan kunjungan bersejarah Presiden Mesir Anwar Sadat ke Jerusalem pada November 1977.
Situasi yang mulai membaik itu ditangkap Presiden AS Jimmy Carter yang kemudian mengundang Presiden Sadat dan PM Israel Menachem Begin untuk berunding di rumah peristirahatan Presiden AS di Camp David, tak jauh dari Washington DC, pada 17 September 1978.
Presiden Sadat dan PM Begin ditengahi Presiden Carter melakukan perundingan maraton sepanjang 12 hari yang kemudian menghasilkan dua kesepakatan.
Kesepakatan pertama disebut "Sebuah Rencana Kerja untuk Perdamaian di Timur Tengah". Isi kesepakatan itu adalah meletakkan dasar-dasar dan prinsip perdamaian, memperluas resolusi DK PBB nomor 242, menyelesaikan apa yang disebut sebagai "masalah Palestina", menyetujui perdamaian Mesir-Israel, serta perdamaian antara Israel dan negeri-negeri tetangganya yang lain.
Resolusi DK PBB nomor 242 diterbitkan pada 22 November 1967 yang isinya menyerukan agar Israel menarik mundur militernya dari semua wilayah yang didudukinya setelah Perang Enam Hari yaitu Semenanjung Sinai dan Dataran Tinggi Golan.
Kelemahan kesepakatan pertama ini adalah pada bagian terkait masalah Palestina. Rencana dasar dari kesepakatan ini adalah membentuk sebuah "pemerintahan sendiri" di Tepi Barat dan Jalur Gaza sebelum status final ditentukan. Sayangnya, perwakilan Palestina tidak dilibatkan dalam pembicaraan ini.
Kesepakatan kedua di Camp David adalah "Kerangka Kerja Camp David untuk Perjanjian Damai Israel-Mesir". Kerangka kerja ini kemudian diwujudkan dengan penarikan mundur pasukan Israel dari Sinai pada 1979.
Perjanjian ini merupakan pengakuan pertama dari sebuah negara Arab utama terhadap eksistensi Israel. Perundingan Camp David ini dianggap menjadi salah satu yang tersukses dalam seluruh rangkaian perjanjian damai Timur Tengah.
Perjanjian damai Israel dan Mesir masih berlangsung hingga hari ini dan secara substansial memperkuat posisi Israel di kawasan itu. Sayangnya, perdamaian kedua negara baru berlangsung sesaat, Presiden Sadat kemudian tewas dibunuh pada 6 Oktober 1981.
Anwar Sadat, yang kemudian mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian bersama PM Menachem Begin, tewas dibunuh kelompok kanan yang kecewa dengan keputusan berdamai dengan Israel.
Tak diragukan, perjanjian Camp David ini mengubah peta politik di Timur Tengah, salah satunya adalah berubahnya status Mesir di mata negara-negara Arab lainnya. Bahkan Mesir sempat dikeluarkan dari Liga Arab mulai 1979-1989.
Selain itu, kalimat-kalimat menggantung yang digunakan untuk merujuk masalah Palestina dalam perjanjian ini terbukti telah mengakibatkan isu Palestina menjadi masalah utama proses perdamaian Timur Tengah dan tak kunjung terselesaikan hingga hari ini.
Sementara itu, meski perjanjian Camp David ini didukung sebagian besar warga Israel, tidak demikian dengan warga Mesir. "Perdamaian" yang tercipta antara Mesir dan Israel cenderung dingin karena hanya dianggap perdamaian antara Israel dengan Presiden Anwar Sadat, dan bukan perdamaian antar-kedua bangsa.