Hak-hak Sipil yang Terabaikan di Indonesia

By , Selasa, 29 Juli 2014 | 11:30 WIB

Salah satu kesulitan akibat tak diakuinya aliran kepercayaan dan agama-agama asli Indonesia sebagai agama adalah dalam dunia pendidikan. 

Di sekolah, para siswa siswi yang datang dari keluarga penganut ajaran kepercayaan terpaksa harus beragama lain saat berada di lingkungan sekolah. 

Salah satu contoh adalah Yeti Riana Rahmadani seorang siswi sekolah menengah atas di Bekasi, Jawa Barat. 

Yeti yang menganut Kapribaden "terpaksa" memilih agama Islam untuk mata pelajaran agama. Sejauh ini, aku Yeti, dia tak menghadapi kendala apapun. 

"Saya mengikuti pelajaran (agama Islam) di sekolah, tapi saya tetap kapribaden," kata Yeti. 

Meski mengaku tak menemukan masalah dengan pelajaran agamanya namun terkadang kawan-kawannya tak urung mempertanyakan kadar keagamaannya. 

"Kadang-kadang temen bilang, Yeti Islamnya KTP doang. Memangnya kamu salat di rumah," kisah Yeti menirukan pertanyaan beberapa teman sekolahnya. 

Sementara itu, Hedi Purwanto mahasiswa Universitas Negeri Jakarta penganut aliran kepercayaan, juga mencantumkan Islam sebagai agamanya di dalam KTP. 

Masalah muncul saat Hedi kerap tidak terlihat dalam ibadah rutin umat Islam, misalnya ibadah salat Jumat. 

"Teman sering menanyakan kenapa saya tidak Jumatan. Saya terkadang menjawab saya belum dapat hidayah," kata Hedi sambil tertawa. 

Sementara itu, seorang penganut Parmalim Mulo Sitorus mengatakan masalah tak diakuinya agama-agama asli Indonesia ini menyebabkan anak-anak Parmalim sulit mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi. 

"Sekarang (pendaftaran) dilakukan secara online lewat internet. Masalahnya dalam formulir pendaftaran online hanya dicantumkan kolom enam agama," kata Mulo. 

Dosa besar