Kisah Sang Kesatria Penantang Api Saat Sunyi Hari Raya

By , Rabu, 30 Juli 2014 | 22:30 WIB
()

Hari Lebaran pun tiba, Jakarta lengang. Lebih dari separuh penduduknya memilih berlebaran bersama sanak saudara di kampung halaman yang jaraknya mungkin bermalam-malam dari Jakarta. Tetapi tak mengapa, toh Lebaran cuma sekali setahun.

Namun, itu tidak berlaku bagi semua orang. Beberapa profesi mengharuskan untuk tetap siaga meski ini Hari Raya. Di Jakarta yang tenang, ada orang-orang yang awas berjaga agar kota tetap aman saat orang-orang kembali ke pelukan Sang Ibu Kota.

Salah satunya adalah Suhada, pria kelahiran Purworejo, 11 Januari 1965. Dia seorang petugas pemadam kebakaran, yang juga komandan Peleton Seksi Bantuan Operasi Dinas Pemadam Kebakaran dan Badan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta.

Sebagai seorang petugas pemadam kebakaran, mustahil bagi Suhada untuk meninggalkan pekerjaan.

"Kami tetap masuk seperti biasa. Dalam suasana Lebaran, dibatasi cuti dua orang dalam satu grup, nanti bisa ambil cuti lain waktu tidak berbarengan supaya tidak ada kekosongan," kata Suhada saat ditemui di kantornya, Rabu (30/7).

Suhada yang sudah bergabung dengan Satuan Pemadam Kebakaran sejak 2001 itu mengaku sudah terbiasa dengan ritme kerja seperti itu. Keluarga kecilnya pun sudah maklum kalau empat tahun terakhir ini ia tidak pernah bisa mengajak mereka pulang kampung.

"Saya sudah beri mereka pengertian, tugas bapaknya memang begini—ya mau bagaimana lagi namanya pekerjaan," tuturnya. Suhada benar-benar harus siaga. Pada malam takbiran saja, dia harus turun bergelut dengan si jago merah karena ada salah satu rumah warga yang tersulut api petasan.

Suhada yang sudah bergabung dengan Satuan Pemadam Kebakaran sejak 2001 itu mengaku sudah terbiasa dengan ritme kerja seperti itu. Keluarga kecilnya pun sudah maklum kalau empat tahun terakhir ini ia tidak pernah bisa mengajak mereka pulang kampung.

"Saya sudah beri mereka pengertian, tugas bapaknya memang begini, ya mau bagaimana lagi namanya pekerjaan," kata dia.

Suhada benar-benar harus siaga. Pada malam takbiran saja, dia harus turun bergelut dengan si jago merah karena ada salah satu rumah warga yang tersulut api petasan.

"Petugas pemadam kebakaran itu tidak ada istilah siaga dua atau tiga, kami siaga satu terus karena tidak tahu kapan dan di mana musibah terjadi," katanya.

Setiap hari, Suhada harus menempuh perjalanan kira-kira empat jam untuk sampai di kantor. Rumahnya yang di Cikampek, Jawa Barat, membuatnya harus berangkat sebelum subuh untuk kemudian naik bus antar-kota agar tidak terlambat apel pukul 7.30 WIB di Jakarta.

"Setiap hari seperti itu. Tapi saya selalu katakan pada diri saya sendiri, orang lain saja bisa kok masuk setiap hari dari Cikampek atau Purwakarta pulang pergi ke Jakarta, masa saya yang cuma tiga kali seminggu tidak bisa?" katanya.

Saat sirine meraung, semua pasukan bergegas menuju mobil kesatuan masing-masing. Mereka berkonvoi menuju tempat terjadinya kebakaran. Sayangnya, masih ada saja warga yang mengabarkan berita kebakaran palsu. (Reynold Sumayku/NGI)

Suhada dan rekan-rekannya memang hanya bertugas tiga kali seminggu. Namun, dia harus bekerja 24 jam tiap harinya.

"Jadi kalau hari ini masuk, besok saya libur, besoknya masuk 24 jam lagi, besoknya libur, seperti itu terus selanjutnya. Hari libur itu pun digunakan sebagai hari cadangan, kita tetap harus siaga dan datang ke kantor untuk ikut kegiatan, misalnya olahraga, keagamaan atau keterampilan, tapi cuma sampai jam 11.00 WIB," katanya.

"Alhamdulillah keluarga saya dan saya mensyukuri nikmat yang diberikan. Sifat manusia kan tidak pernah cukup, makanya harus pandai-pandai bersyukur," tambahnya.

Menjadi petugas pemadam kebakaran, kata Suhada, tidak lantas membuatnya kebal akan segala hal, termasuk perasaan sedih. Ada saat-saat Suhada merasa terpuruk, terutama saat terjadi musibah menimpa satuannya.

"Pada 2010, teman satu peleton saya meninggal dalam tugas saat memadamkan kebakaran di Kali Anyar. Dua orang lainnya terluka parah, tapi alhamdulillah sekarang sudah pulih dan kembali bertugas," kata dia.

"Waktu itu kami memadamkan di lantai tiga, tiba-tiba dak dan tembok kiri kanan roboh. Kami bisa selamat itu adalah mukjizat. Kedua teman saya yang terluka parah itu sempat tidak terlihat karena tertutup tumpukan puing rumah, mereka terinjak-injak teman lainnya, dan posisinya terikat selang, tapi untung masih selamat," katanya.

"Kami bahagia kalau bisa menyelamatkan jiwa, masyarakat, dan menjaga kebakaran tidak menyebar. Tapi namanya manusia, ya sedih kalau ada musibah seperti itu," kata Suhada.

Karena tugasnya itu, tak jarang Suhada harus melawan api bermalam-malam. Yang terakhir adalah kebakaran Pasar Senen beberapa waktu lalu yang membuatnya berjaga sehari semalam.

"Rekor memadamkan, 13 jam pernah, 24 jam pernah sampai ketemu aplus lagi. Contohnya waktu kebakaran Pasar Tanah Abang 2003, itu empat hari non-stop. Ada lagi di pabrik sandal Swallow Cengkareng 5 hari. Kita kan kerja 24 jam, ya ganti shift-nya di lapangan, tidak boleh pulang ke rumah. Pintar-pintar bagi waktu saja, jangan sampai ketiban semua, kita buat siklus, istirahat beberapa jam, kalau tidak begitu kosong semua," katanya.

Istirahat di lapangan yang dimaksud Suhada bukanlah istirahat tidur semalaman di rumah penduduk atau apa, melainkan sekadar makan minum dan sekadar mengembuskan asap rokok.

"Intinya supaya tidak megang pemancar air saja," katanya.

Tantangan yang dihadapi petugas pemadam kebakaran ternyata bukan hanya di lapangan saja saat menghadapi api, melainkan juga saat harus menaklukkan kejenuhan kala harus siaga di kantor selama 24 jam.

"Ya kalau jenuh kita kadang main tenis meja atau fitness di barak atau ngobrol. Yang jelas, setiap pagi berangkat kerja, doa saya cuma satu, saya berdoa jangan ada kebakaran, 1 x 24 jam Jakarta aman, kode hijau, kode aman," kata dia.