Kontroversi yang Mencuat Soal <i>Jilboob</i>

By , Sabtu, 16 Agustus 2014 | 21:15 WIB

Jilboob atau memadukan jilbab dengan pakaian ketat atau terbuka menjadi perhatian Majelis Ulama Indonesia dengan himbauan agar Muslimah di Indonesia mengenakan pakaian sesuai ajaran Islam yang benar. 

Himbauan ini keluar pekan lalu di tengah maraknya fenomena jilboob terutama di kalangan anak muda. 

Berbagai foto selfie perempuan dengan pakaian tersebut muncul di sejumlah situs internet dan jejaring sosial. 

MUI mengatakan mereka tidak memahami ajaran Islam. 

"Kita memahami teman-teman, saudara-saudara kita mulai sadar untuk berjilbab, ada yang menutup seluruh tubuh hingga wajah tapi ada juga yang memahami jilbab hanya menutup kepala padahal kepala itu hanya bagian dari kesempurnaan tubuhnya," kata Cholil Nafis, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI kepada saya di kantornya yang terletak di Bayt Al Quran, TMII. 

"Ada yang salah paham sehingga kadang-kadang pakaiannya ketat dan bahkan ada yang sampai menerawang, bahkan sampai tank top atau you-can-see tapi kepalanya tertutup. Saya melihatnya ada kesadaran untuk beragama, kesadaran untuk menjalankan ajaran agama, beretika secara Islami tapi pemahamannya belum sampai," kata Cholil. 

Fatwa haram jilbab ketat diduga akan membawa berbagai dampak. (BBC Indonesia)

Tidak lagi mengurusi jilbab 

Ia mengatakan bahwa tugas ulama mengajarkan umat Islam di Indonesia cara berpakaian yang tepat. 

Tapi tidak semua orang setuju dengan pandangan itu. 

"Yang menjadi pertanyaan besar dan kegelisahan kita, dalam pendapat saya adalah kita sebagai umat Islam seharusnya sudah tidak lagi mengurusi jilbab. Itu sesuatu yang tidak perlu dibincangkan lagi dan harusnya ditempatkan sebagai sesuatuyang sangat personal," kata Okky Madasari, seorang novelis yang banyak menulis tentang isu gender. 

"Sudah tidak zamannya lagi kita umat Islam membicarakan jilbab, banyak sekali persoalan yang harus dipikirkan," tambahnya. 

Fashion bernuansa Islami telah menjadi tren di kalangan Muslimah Indonesia. Mereka memadukan jilbab dengan pernak pernik modis. 

"Sudah tidak zamannya lagi kita umat Islam membicarakan jilbab, banyak sekali persoalan yang harus dipikirkan,"

Salah seorang yang bergerak dalam mengangkat model jilbab adalah Dian Palupi. 

Dian memulai kariernya sebagai wartawan televisi 12 tahun yang lalu dan kini ia menempati posisi sebagai produser senior di salah satu stasiun televisi berita terkemuka. 

Ia kreatif, punya kepribadian yang kuat dan merupakan bagian dari kelas menengah urban yang lahir dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dan ia mengenakan jilbab. 

Pakaian cerminkan identitas 

Begitu juga Dian yang selama beberapa tahun terakhir rajin bereksperimen mencari gaya berbusana yang pas. 

"Buat saya, pakaian saya mencerminkan identitas saya," kata Dian kepada saya di kantornya. 

"Saya mulai memakai jilbab enam tahun yang lalu karena perintah agama. Tapi saya juga tetap punya gaya sendiri. Apa pun yang saya pakai harus terasa nyaman," tambahnya. 

Tren ini juga ditangkap oleh para pelaku bisnis yang ditandai dengan menjamurnya toko menjual jilbab dan aneka aksesorinya. 

Di Jakarta, toko-toko itu bisa ditemui di beberapa lokasi termasuk Pasar Tanah Abang.

Di pusat grosir inilah Anda memperdagangkan kerudung produksinya selama sembilan tahun terakhir. 

"Kerudung itu mengubah wajah seseorang, kalau pakaian kan cuma mengubah penampakan bentuk tubuh tapi kerudung benar-benar menjadikan wajah kita beda," kata Anda. 

"Saya juga mengajarkan kepada pembeli bagaimana cara memakai kerudung agar tampak menarik," katanya. 

Namun ketika di satu sisi ada kelompok yang ingin memadukan agama dengan fashion, sejumlah elemen konservatif di Indonesia merasa negara ini terlalu cepat modern.