Kini aktivitas para petambang pasir di tempuran itu tak ada lagi. Para pertapa juga semakin jarang. Namun, warung Mbah Temu telanjur dituturkan dari mulut ke mulut dan dikenal luas, dan punya pelanggan. ”Mereka ini bukan petapa, bukan petambang pasir, dan benar-benar datang hanya untuk mencari mangut lele,” tutur Temu.
Cara Temu melayani pelanggan khas cara orang Jawa berdagang, semua serba secukupnya. Merasa dirinya cepat lelah, Temu tak mau memperturutkan para tamunya. ”Dulu, sehari kami bisa menghabiskan lebih dari 12 kilogram lele. Sekarang, paling banyak 8 kilogram saja. Kalau menuruti maunya tamu, kok, rasanya tak habis-habis orang datang,” katanya tertawa.
Warung itu bukan lagi tumpuan penghidupan keluarga Temu, melainkan lebih seperti kelangenan yang membuat Temu bisa berkumpul dan bercengkerama dengan semua anak-cucunya.
Kelima anak dan sepuluh cucunya memang tak lagi tinggal serumah dengan Temu, tetapi semuanya masih bermukim di Kecamatan Kasihan, Bantul. Setiap siang hingga sore, para cucu Temu berkumpul dan bercengkerama dengan eyang buyutnya, Mbah Paikem yang kini berusia 88 tahun.
”Dulu, semua anak saya setiap siang juga datang ke warung ini, bekerja melayani banyaknya pelanggan. Sekarang, jangan dihitung sebagai pekerjaan, ini jadi tempat saya bertemu dengan semua cucu, tempat cucu-cucu saya menemui simbah buyutnya,” kata Mbah Temu tersenyum.