Berkarya Lewat Taman Satwa

By , Senin, 8 September 2014 | 08:30 WIB

“Dodoooooooo. Wake up... Wake up... Come on Dodoooo...,” demikian Ida Ayu Diatmini memanggil Dodo dengan lengkingan berintonasi mesra. Barangkali lengkingan itu semesra panggilan ibu kepada anak kesayangannya atau semesra Tarzan memanggil para penghuni hutan.

Setiap hari Ida mengenakan setelan seragam safari warna khaki. Dia bukan perempuan petualang penakluk rimba, melainkan seorang penjaja dan pemberi pakan satwa buas di Bali Zoo, kebun binatang seluas 5,5 hektare di Gianyar, Bali. Tugasnya, menawarkan daging seharga beberapa puluh ribu rupiah kepada para pelancong yang ingin menyaksikan Dodo bersantap.  

Sementara, Dodo merupakan satu-satunya harimau sumatra yang menghuni kebun binatang tersebut. Meskipun garang, Dodo kini sudah berusia 22 tahun—cukup tua untuk ukuran harimau—mudah mengantuk dan matanya pun mungkin sudah rabun.

Ida menyimpan kisah kebiasaan Dodo. Pernah pada suatu hari, demikian tutur Ida kepada saya, sekumpulan pelancong mancanegara menyaksikan Dodo di pagar teralis kandang terbukanya. Kucing besar itu berjalan malas-malasan menuju pagar. Tahu bahwa dia sedang diperhatikan, tiba-tiba Dodo berbalik arah dan membelakangi para pelancong sembari menegangkan ekornya ke atas.  Mereka tidak tahu apa maksud gerakan manuver satwa ini.

Croot...croot! Dodo melepaskan hasrat buang air kecilnya tepat ke wajah para pelancong. Mereka sungguh terkejut, ungkap Ida, namun justru senang dengan pengalaman kecut—atau asin—yang baru saja terjadi. Kepada para pelancong yang basah itu Ida berujar sembari tersenyum, “Good bless you, It is a memory from Bali Zoo.” Kemudian para pelancong menanggapinya dengan girang sembari menyeka wajah mereka dengan kertas tisu, “Yes, no problem!”

“Ini sudah menjadi kebiasaan Dodo,” ujar Ida sambil menyeruakkan sekerat daging sapi segar dengan menggunakan tongkatnya. “Dia sering kencingin pengunjung.”

Kisah Dodo itu merupakan salah satu polah lucu dari aneka penghuni Bali Zoo. Para pelancong kerap mengabadikan polah mereka dengan fotografi. Pada 2 Juli sampai 8 September 2014, Bali Zoo kembali menggelar kompetisi fotografi bertajuk Discover Bali Zoo Through Lens: Get Close & Personal with Our Wildlife”. Sebanyak 139 peserta kategori pelajar dan 235 peserta kategori umum berlaga untuk memperebutkan total hadiah senilai Rp50 juta.

Berang-berang, salah satu satwa favorit para peserta. (Reynold Sumayku/NGI)

Dewan juri dalam kompetisi tersebut adalah Omar Ariff dari International Professional Photographer, Malaysia; Kristupa Wicaksana Saragih, Professional Photographer; dan Reynold Sumayku, Photo Editor National Geographic Indonesia.

Pengumuman pemenang digelar bersamaan dengan acara “Work Wildlife Photography” pada Minggu 7 September 2014 di Bali Zoo, yang dihadiri sekitar seratus peserta kompetisi. Dalam acara yang kental sebagai forum berbagi itu para peserta dapat bertanya langsung tentang fotografi satwa kepada dewan juri.  

Anak Agung Gde Lesmana Putra, General Manager Bali Zoo, mengatakan bahwa kompetisi fotografi ini merupakan ajang kedua kalinya. "Kalau dibandingkan dua tahun lalu," ungkap Lesmana,"lomba kali ini jauh lebih baik. A lot of improvement baik di sisi foto yang di-submit, maupun dari penyelenggaraan."

"Tujuannya," lanjut Lesmana, "sebagai ajang bagi teman-teman yang hobi foto wildlife. Jadi semoga tahun depan bisa diadakan dengan lebih baik lagi."

Omar Arif mengungkapkan kegandrungannya dengan salah satu satwa di Bali Zoo, berang-berang cakar kecil atau otter (Aonyx  cinirea). Menurutnya, peserta butuh kesabaran untuk memotret satwa yang sangat aktif tersebut. Salah satu kendala dalam memotret satwa ini adalah menemukan waktu yang tepat untuk menjumpainya, demikian ungkap Omar. Fotografer harus berusaha berkali-kali untuk mendapatkan hasil yang terbaik. “Otter merupakan satwa yang paling menantang untuk tahun ini,” ujar Omar. “Anda membutuhkan waktu yang tepat untuk mendapatkan sebuah foto.”

Dalam forum itu Kristupa Saragih menekankan aspek profesionalisme. Seorang fotografer, demikian ungkapnya, sudah sepatutnya terjun bersama fotografer lain dalam menjaga jejaring. Dia juga memotivasi fotografer pemula supaya tidak menyerah hanya lantaran keterbatasan alat. “Banyak fotografer hebat yang berkarya dengan alat pinjaman.”

“Kalau Anda merasa jenuh, berarti Anda belum berminat,” ujar Kristupa Saragih yang menjawab pertanyaan salah seorang peserta tentang kebosanan yang kerap melanda penghobi fotografi. “Dalam fotografi, semuanya butuh proses. Anda sendiri yang menguji kompetensi Anda.”

Tampaknya rasa bosan itu manusiawi. Reynold Sumayku mengungkapkan pengalamannya mengatasi rasa bosan dalam fotografi. “Ketika bosan, tetapi masih senang dengan fotografinya,” ujar Reynold, “pelajari sumber rasa bosan itu, lalu salah satu triknya adalah menggunakan cara lain dalam memotret.”

Kemudian Reynold juga mengungkapkan peran kebun binatang sebagai media pembelajaran bagi fotografer pemula yang berminat memotret kehidupan satwa. “Di kebun binatang, semuanya dapat kita peroleh dengan lebih mudah, terutama dalam mempelajari perilaku satwa sebelum menentukan cara untuk memotretnya,” ujarnya. “Bagi peminat fotografi satwa, kebun binatang adalah lokasi paling ideal untuk berlatih. Sering-seringlah datang ke kebun binatang.”

Pemenang untuk kategori kelompok umum, I Gede Putu Agus Surantara ditahbiskan sebagai juara pertama. Kemudian, Gede Sudika Pratama meraih juara kedua; dan I Ketut Parta Edy Surya sebagai juara ketiga. Sementara untuk kategori kelompok pelajar, juara pertama disandang Ida Bagus Alit Wiryana Adi Saputra. Kemudian, Okky Arisyandhi Pratama sebagai juara kedua, dan I Gusti Bagus Guapo Padma Antara menduduki peringkat juara ketiga. Setiap kategori juga mempunyai dua juara harapan.

Sepuluh foto yang menjadi nominasi untuk tiap-tiap kategori (umum dan pelajar) dicetak lalu dipamerkan pada hari pengumuman pemenang. (Reynold Sumayku/NGI)

Ketiga juri tersebut sepakat bahwa dalam kompetisi kali ini justru kelompok pelajar menunjukkan karya-karya fotografi yang lebih kreatif dan berani ketimbang kelompok umum.

Suatu sore saya bertemu kembali dengan Ida Ayu Diatmini yang tengah bercakap dengan para pelancong mancanegara di muka kandang harimau sumatra. “Saya menyukai pekerjaan ini,” ujarnya kepada saya. Sembari memegang sekerat daging, Ida kembali memanggil satwa yang sedang tertidur pulas itu dengan lengkingan mesranya, “Dodoooooooo. Wake up... Wake up... Come on Dodoooo...”