Tak Potong Rambut 10 Tahun demi Penelitian Ilmiah

By , Senin, 8 September 2014 | 11:21 WIB

Seorang ilmuwan asal Adelaide, Australia, menjadikan rambutnya sendiri sebagai objek dalam penelitiannya. Dan untuk keperluan riset ilmiah ini rambutnya tidak pernah dipotong selama satu dekade.

Associate Professor Stewart Walker dari Universitas Flinders akhirnya memotong rambut yang telah dipeliharanya selama 10 tahun. Namun ini bukan ritual potong rambut biasa di tukang cukur rambut.

Pasalnya ilmuwan asal Adelaide ini sengaja memelihara rambut abu-abunya selama satu dekade terakhir sebagai bagian dari persiapan percobaan ilmiahnya.

Potongan rambut di kepala itu nantinya akan dianalisis kandungan rincian unsur dan isotop di dalamnya. Selain itu Profesor Walker juga berharap potongan rambutnya akan dapat mengungkapkan rincian perjalanan yang sudah dilakukan selama 10 tahun terakhir.

Singkatnya, Profesor Walker menjelaskan potongan rambutnya akan dianalisis untuk mencari tahu tentang bagaimana molekul air dari berbagai belahan dunia saling berbeda.

Tidak seperti hal-hal yang bisa terungkap dari pengujian DNA, teknik ini menurutnya bisa mengungkap cerita dari mana seseorang berasal.

"Perairan di wilayah tropis akan berbeda dari perairan di Arktik, sehingga ketika minum air –misalnya saya pernah berada di Tromso di Utara Arktik– saya meminum air yang sangat berbeda kandungan isotop dan elemen dari air yang saya minum di Adelaide,” katanya.

"Dan ketika jejak air itu terperangkap di rambut saya, maka saya akan bisa mendapati jejak dari air di Adelaide dan juga Tromso serta jejak kandungan air dari Skotlandia, tempat yang juga akan saya kunjungi di waktu mendatang,” lanjut dia.

Profesor Walker mendokumentasikan perjalanannya selama satu dekade terakhir untuk eksperimen ini. Menurutnya teknik ini bisa bermanfaat dalam mengatasi sejumlah permasalahan serius, seperti isu pencari suaka, teknik ini bisa melacak rute yang telah ditempuh para penyelundup manusia.

Selain itu pascabencana, teknik ini dapat menjadi alat yang berguna dalam membantu mengidentifikasi korban.

"Kolega saya yang ikut terlibat dalam mengatasi bencana Tsunami tahun 2004 bercerita mereka kesulitan mengidentifikasi negara asal dari jenazah yang mereka temukan. Sehingga misalnya jika diketahui jenazah itu dari Thailand, maka mereka akan dapat mengirimkan korban itu ke Pendeta Thailand untuk dilakukan upacara penghormatan yang lebih pantas,” katanya.

"Kita juga bisa mengatakan “korban ini berasal dari Swedia dan kita harus memulangkanya ke Swedia,”

Teknik ini juga bisa diaplikasikan untuk melacak jejak asal industri makanan dan minuman.