Air Merkuri di Batanghari

By , Kamis, 11 September 2014 | 11:52 WIB

Kawasan Pasar Bawah jauh berubah dibandingkan dengan tiga tahun lalu. Perkampungan yang dibelah Sungai Mesumai itu tampak sepi. Tidak terlihat lagi anak-anak bermain di sungai, orang memancing, mandi, atau bersantai di tepian. Air sungai berwarna coklat. Baunya pun tak sedap.

”Siapa yang mau ke sungai kalau airnya keruh begini,” ujar Anggi, pemuda Pasar Bawah, Kabupaten Merangin, Jambi.

Hingga tiga tahun lalu, Sungai Mesumai jernih hingga ke dasarnya. Lalu demam emas mewabah. Di hulu, sekitar 40 kilometer dari Pasar Bawah, pelaku penambangan emas tanpa izin tiap hari mengoperasikan sekitar 100 alat berat. Saban hari pula limbah tambang digelontorkan ke sungai.

Saban hari limbah tambang digelontorkan ke sungai.

Bukan hanya Mesumai, lebih dari 30 sungai dan anak sungai di Kabupaten Merangin, Sarolangun, Tebo, dan Batanghari tercemar limbah tambang emas.

Limbah berupa lumpur, besi, arsenik, hingga merkuri. Semua polutan itu berbahaya, tetapi yang tergawat adalah merkuri, yang dipakai dalam pemurnian emas. Cukup 0,01 miligram per liter (mg/l), logam berat itu sudah menyebabkan kematian. Dalam konsentrasi yang lebih rendah pun sangat berbahaya.

”Merkuri dalam tubuh bersifat akumulatif, begitu masuk tak bisa keluar,” ujar pakar ekotoksikologi Institut Pertanian Bogor, Etty Riani.

Merkuri alias air raksa (Hydrargyrum, Hg) menginfiltrasi jaringan dalam tubuh. Akibatnya, jaringan dan organ rusak, janin cacat, serta intelektualitas (IQ) jongkok. ”Kematian biasanya tidak cepat datang. Pelan, tetapi pasti,” ujar Etty lagi.

Di Jepang tahun 1950, limbah merkuri dari pabrik pupuk pernah mengakibatkan tragedi Minamata. Sekitar 3.000 warga Teluk Minamata menderita penyakit aneh, mutasi genetika, dan tak tersembuhkan.

Merkuri menginfiltrasi jaringan dalam tubuh. Akibatnya organ rusak hingga intelektualitas jongkok.

Di Kamboja, merkuri dari tambang emas juga dilaporkan mengontaminasi aliran Sungai Mekong sejak 2008.

Di Vietnam, masalah yang sama dilaporkan pada 2011/2012.

Blacksmith Institute pada 2011 melansir, di 37 titik tambang emas di Asia Tenggara, termasuk Indonesia tetapi belum memasukkan Batanghari, merkuri memapar 907.300 orang di sekitar areal tambang.Tragedi bisa berulangKompas menemukan, tragedi Minamata bisa terulang di Batanghari atau anak-anak sungainya karena wabah demam emas tak terkendali. Di Kabupaten Sarolangun dan Merangin saja, menurut catatan kelompok Gerakan Cinta Desa (G-Cinde), penambangan emas berlangsung di 30 desa. Di Limun, kecamatan di Sarolangun, ada sekitar 400 penambangan liar aktif.

Di Kabupaten Merangin, demam emas tak kalah gawat. Penambangan emas tanpa izin (PETI) meluas ke sawah, kebun, permukiman, bahkan halaman kantor Kecamatan Pangkalan Jambu dan Kepolisian Sektor Tabir Ulu. ”Hampir semua petambang didukung pemodal besar,” kata Eko Waskito, Koordinator G-Cinde. Mereka memakai alat berat untuk mengeruk pasir dan tanah.

Bayangkan jumlah merkuri yang dibutuhkan. Sebagai pembanding, untuk memurnikan emas dari sekarung ”pasir/batu emas”, dibutuhkan 0,5 kilogram merkuri. Padahal, limbah logam berat itu, lanjut Eko, langsung dibuang ke sungai.