“Kita tidak berani masuk ke dalam wreck karena arusnya gila,” ujar Shinatria Adhityatama dari Pusat Arkeologi Nasional. “Arusnya kencang sekali. Pernah dalam satu hari kita tidak turun karena arusnya tidak mengendor.”
Pemrakarsa penelitian ini adalah Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Bersama Pusat Arkeologi Nasional dan Orca Diving, mereka melakukan survei dan penelitian pada situs arkeologi bawah laut HMAS Perth selama sepuluh hari, dari 9 sampai 18 Juni 2014. Tujuan utama mereka adalah menghimpun informasi—pemetaan, sebaran situs, dimensi, kondisi dan posisi kapal—yang digunakan untuk menetapkan lokasi kapal tenggelam tersebut sebagai Situs Cagar Budaya.
Pada saat yang sama, tim arkeologi dari Naval History and Heritage Command juga melakukan penelitian kapal perang leluhur mereka, yaitu penjelajah berat USS Houston—berjulukan Hantu Pesisir Jawa. Kapal itu tenggelam sekitar 400 meter dari HMAS Perth.
Lokasi tenggelamnya kedua kapal perang itu berada di dekat mulut Selat Sunda, sekitar 45 menit dari Pulau Panjang, Serang, sisi utara Banten. HMAS Perth milik Royal Australian Navy dan USS Houston milik United States Navy, keduanya tenggelam pada waktu yang hampir bersamaan, Minggu 1 Maret 1942.
Kisah dua kapal malang itu bermula dari pertempuran laut terdahsyat pada akhir riwayat Hindia Belanda. Keduanya lepas dari hadangan maut dalam Pertempuran Laut Jawa yang berkecamuk pada 27-28 Februari 1942. Kemudian kedua kapal perang yang kelelahan itu mundur ke Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia. Mereka berencana menuju Pelabuhan Cilacap.
Perang Dunia Kedua memberi pelajaran tentang kegagalan komunikasi. Tatkala perjalanan menuju pelabuhan di selatan Jawa itu, mereka mendapat informasi bahwa sekitar 50 armada kapal perang milik Jepang telah berkumpul di Teluk Banten. Namun informasi itu datang terlambat. Keduanya menjadi mangsa empuk sekawanan torpedo angkatan laut Jepang dalam Pertempuran Selat Sunda pada 28 Februari hingga 1 Maret 1942.
HMAS Perth digempur torpedo di bagian haluan, buritan, dan lambung kanannya. “Dia miring dengan sisi yang bolong berada di bawah air,” ujar Adhityatama sambil memeragakan posisi kapal dengan telapak tangannya. “Lalu, tenggelam menuju ke dasar dengan lambung kiri berada di atas.”
Peristiwa penaklukkan Jepang atas Hindia Belanda, demikian ungkap Adhityatama, tampaknya menjadi bagian yang terlalu cepat dilewatkan dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Pertempuran Laut Jawa dan Pertempuran Selat Sunda, sepertinya dianggap tidak penting bagi sejarah negeri ini.
Alasan itulah yang bisa menjelaskan mengapa perjuangan sengit yang dilakukan Hindia Belanda beserta sekutunya nyaris dilupakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Padahal, peristiwa tersebut merupakan bagian untaian peristiwa besar—Perang Dunia Kedua—yang terjadi di negeri ini.
Adhityatama mengisahkan salah satu tantangan timnya ketika menyelam di titik tenggelamnya kapal penjelah ringan HMAS Perth, selain jarak pandang yang hanya sekitar satu hingga empat meter.
Kapal perang HMAS Perth bersemayam di dasar Selat Sunda pada kedalaman 20-38 meter. Bangkai kapal tersebut diselimuti lumpur dan pasir di bagian dasar. Bahkan, beberapa bagiannya sudah ditumbuhi berbagai macam terumbu karang seperti gorgonian.
Kapal itu terakhir kali mengangkut sejumlah 672 awaknya. Tercatat, 352 awak hilang, 320 awak selamat dan menjadi tawanan perang Jepang dan ditempatkan di dekat Batavia. Sementara, 105 awak yang menjadi tawanan perang tersebut tewas dalam kamp. Kini ruang-ruang dalam kapal perang tersebut telah berganti penghuni: serombongan ikan seperti ikan kue, ekor kuning, dan kakap merah yang berseliweran.
HMAS Perth dibangun di Portsmouth Naval Dockyard, Inggris. Bertugas di Royal Navy (Angkatan Laut Kerajaan Inggris) sebagai HMS Amphion pada 15 Juni 1936. Kemudian kapal perang itu dibeli oleh Pemerintah Australia, dan menjadi bagian Royal Australian Navy pada 29 Juni 1939.