Singkap Musik Beghu yang Sakral dan Tersembunyi di Pedalaman Flores

By Galih Pranata, Rabu, 3 November 2021 | 15:00 WIB
Seorang pelancong tengah menikmati suasana matahari terbit di puncak Lia Ga. Bukit Lia Ga yang terletak di pesisir utara Pulau Flores yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Ende. (Mikael Jefrison Leo)

"Penamaannya itu sendiri diperkirakan diambil dari nama tempat tumbuhnya kayu meranti dan pohon bambu, kedua pohon tersebut tumbuh berdekatan di satu tempat," sambung Ceme dan tim.

Keberadaannya di tengah masyarakat adat Flores, tidak terlepas dari peran sentralnya sebagai ritus sosial, utamanya di pedalaman Kotakeo, Flores. Dilansir dari pernyataan dari Rama Prier atau Karl-Edmund Prier, bahwa Beghu dimainkan bersama dengan ruh leluhur.

Edmund Prier dalam webinar bertajuk Membaca Musik Nusantara, menjelaskan tentang risetnya ke pedalaman Flores. Webinar tersebut diselenggarakan oleh HMJ Etnomusikologi ISI Yogyakarta pada 26 Oktober 2021 lalu.

"Indonesia memiliki kekayaan musik yang beragam, tidak hanya jenis notasinya saja, melainkan unsur dan kegunaannya," ungkapnya. "Ada yang bersifat sarana meditasi, healing, sampai kepada musik untuk ritus-ritus masyarakat adat," tambah Prier.

"Musik dari Kotakeo hadir dengan kearifan lokal yang jarang ditemui dimanapun, mereka mensakralkan Beghu untuk tidak dimainkan disembarang momen atau tempat," terangnya. Masyarakat pedalaman Flores hanya menggunakannya saat momen penting saja.

Baca Juga: Untold Flores: Ritual Adak Pua Kopi di Colol Manggarai Timur

Bebatuan yang tersusun rapi memiliki kode budaya leluhur—menjadi bagian tak terpisahkan dari kampung adat di Flores. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

"Corak kepercayaan animisme yang masih kental di Flores, membuat masyarakatnya menggunakan musik untuk dapat berkomunikasi dengan roh leluhur mereka," jelasnya. Bagi mereka, Beghu menjadi media penghubung dengan nenek moyangnya.

"Mereka percaya, saat Beghu mulai dimainkan, roh leluhur membersamai dan ikut menari di dalam setiap tabuhan irama musik," ungkapnya lagi. Itu yang mendorong masyarakatnya menganggap Beghu adalah musik yang sakral.

Ia hanya akan dimainkan saat ada penyelenggaraan ritus-ritus keagamaan. Tujuannya adalah mengundang roh leluhur mereka atau nenek moyang, untuk turut hadir, mendengarkan keluh sambil menari.

Pemilihan para pemainnya juga tidak boleh sembarangan, sehingga dipilih beberapa pemain yang terbiasa dengan pengalamannya dalam memainkan Beghu. "Jangan sampai salah, mereka akan dikenai denda apabila salah memainkan notasi musiknya karena dianggap pelanggaran berat," tegas Prier.

Dokumentasi Karl-Edmund Prier bersama tim, melihat atraksi permainan Beghu di desa terpencil, Kotakeo, Flores. (Karl-Edmund Prier)

"Teknik permainan yang saling sahut-menyahut menjadikan pola irama yang menarik untuk didengarkan," tambahnya. Keunikan yang khas dalam musik Beghu disebut Prier sebagai Lautmalerei atau musik yang merepresentasi sesuatu.

"Menariknya, musik unik yang tersembunyi diantara pegunungan Flores ini disebut tidak termasuk dalam Ensiklopedi Groove, ia absen (tidak ada) dalam jenis-jenis musik yang banyak ditemukan di internet," pungkasnya.

Kini, Beghu dapat ditemukan tidak hanya di Katakeo, namun juga dibanyak wilayah seiring berkembangnya budaya dan pola transmigrasi yang menyebabkan tersebarnya musik ini. "Nagekeo, Gezu, dan beberapa wilayah di Nusa akan memainkannya, meskipun dengan gaya yang sedikit berbeda," tutup Prier.

Panorama matahari terbit di Danau Kelimutu, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. (Bayu Dwi Mardana)