Pada petang yang temaram, Ginanjar Koesmayadi duduk di tepi pagar lapangan bola di Bandung Wetan (Bawet). Kendati beranjak malam, di kawasan kolong jalan layang Pasupati, Bandung, Jawa Barat, itu masih terdengar teriakan pemain bola. Ginan baru saja istirahat, dengan keringat yang belum kering.
Namun seorang karibnya datang menghampiri. Lelaki itu membawa temannya, seorang pengidap HIV/AIDS, buat berkeluh kesah. "Istrinya baru meninggal dan dia baru tahu tertular HIV," ujar Ginan, salah seorang pendiri Rumah Cemara.
Bertelanjang dada, Ginan hanya duduk dan mendengarkan. "Masih berduka, jadi hanya bisa mendengarkan," terang mantan pecandu yang mengidap HIV itu. Ginan tidak pernah menyangka bola mampu melampui batas-batas lapangan permainan.
Lelaki yang membuka statusnya positif HIV pada 2002 ini bebas bermain bola bersama sejawatnya di lapangan Bawet itu. Ada benturan, ada sentuhan keringat, ada tekel keras. Tapi tidak ada rasa khawatir tertular, permainan tetap berlangsung. "Semua orang sudah tahu (mengidap HIV)."
Melalui si kulit bundar, stigma terhadap mantan pecandu, pemadat dan pengidap HIV mampu dikikis pelan-pelan. Ide Indonesia tanpa stigma tumbuh dari Rumah Cemara sejak satu dasawarsa lalu.
Kala itu, para perintis Rumah Cemara mengayunkan langkah kecil buat menebar hasrat Indonesia tanpa stigma. Prakarsa ini terbit dari rasa letih kecanduan, tubuh yang digerogoti virus, dicampur dengan cap buruk, dan diaduk dengan pembedaan.
Lima pemuda: Darwis, Ginan, Ikbal, Patri dan Tanto, pada 1 Januari 2003 meretas kiprah Rumah Cemara. Salah seorang pendirinya, Ginan mengisahkan, tujuan pendirian Rumah Cemara sangat sederhana. "Kami yang pulih dari kecanduan narkoba ingin punya komunitas," tuturnya.
Mereka meyakini pemulihan mesti bermula dari perubahan di dalam komunitas itu sendiri. Keyakinan ini tumbuh dari pengalaman sebagai pecandu yang kerap keluar-masuk panti rehabilitasi.
!break!Bermula dari komunitas kecil, lalu menembus Bandung, sepak terjang Rumah Cemara kini berkembang ke beberapa provinsi. Beberapa program kerjasama bahkan mencakup ranah nasional.
Rumah Cemara bertumpu pada dua divisi: pelayanan dan penggalangan (resource mobilization). Divisi pelayanan diberikan secara individu, kelompok dan rehabilitasi. Direktur Rumah Cemara Anton Djajapawira menyatakan, layanan individu berupa pendampingan sebaya terhadap pecandu dan pengidap HIV/AIDS.
Para pegiat Rumah Cemara saban hari mendampingi pecandu yang turut serta dalam terapi Methadone di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Selain itu, pendampingan individu juga dilakukan bagi orang dengan HIV/AIDS di Klinik Teratai di rumah sakit yang sama.
Sentuhan di lapangan ini menjembatani mata rantai yang terputus dalam pemulihan pecandu dan mendukung semangat orang yang terinfeksi HIV. Di sisi lain, darma Rumah Cemara mengakar pada Pusat Perawatan yang hingga 2013 telah membantu 625 pecandu. Kecanduan adalah penyakit akut kambuhan yang merenggut tubuh, jiwa, kehidupan sosial dan spiritual pecandu.
Di Pusat Perawatan yang terletak di Ciwaruga, Bandung Barat, Rumah Cemara membantu pemadat agar lepas dari cengkeraman narkoba. Pecandu yang berniat pulih akan menjalani perawatan selama enam bulan.
Hingga kini, "Alhamdullilah kita masih bisa membantu kawan-kawan yang kecanduan agar pulih dan kembali produktif," jelas Anton yang juga pernah menjalani pemulihan di Rumah Cemara.
!break!Sementara itu, divisi penggalangan (resource mobilization) untuk memaksimalkan Rumah Cemara dalam berintegrasi dengan masyarakat dan berjejaring dengan pihak lain. "Selain kampanye dan hubungan masyarakat, resource mobilization juga berperan sebagai sport development," ujar Anton yang telah berkiprah sejak 2003 di Rumah Cemara.
Ternyata Rumah Cemara memiliki orang-orang berbakat yang perlu disalurkan dan dikembangkan. Salah satunya melalui pengembangan olahraga: sepakbola, tinju, dan aeroboxing.
Dengan sepakbola pula, Indonesia melalui Rumah Cemara pertama kali turut Homeless World Cup pada 2011 di Paris, Prancis. Pada debutnya itu, tim Merah Putih langsung menembus posisi keenam dari 48 negara.
Raihan itu makin sempurna karena Indonesia dinobatkan sebagai pendatang baru terbaik. Kapten tim, Ginanjar Koesmayadi, juga meraih pemain terbaik Homeless World Cup 2011.
Pada 2012 anak bangsa kembali menorehkan prestasi apik pada kiprahnya yang kedua di Homeless World Cup di Meksiko. Skuad Indonesia meraih posisi ke empat usai menyerah pada babak semifinal dari Meksiko. Gagal masuk final, tim Merah Putih berhadapan dengan tim kuat Brasil memperebutkan tempat ketiga.
"Kita waktu itu sebenarnya kalah dari diri sendiri. Tim Indonesia sedikit goyah secara mental, ditambah harus melawan tim tuan rumah Meksiko," jelas manajer tim nasional Homeless World Cup 2014 Febby Arhemsyah.
!break!Kini dengan materi pemain yang lebih baik, Indonesia optimis bisa masuk tiga besar. Namun, Indonesia tetap mewaspadai tim-tim dari Amerika Latin, seperti Brasil, Meksiko dan Argentina. Setiap tahun, tiga negara itu menjadi pesaing berat bagi tim nasional.
Tiga kali ikut laga tersebut membawa Indonesia berada di peringkat ketujuh dunia. "Kita yang terbaik di Asia. Bahkan tidak ada negara Asia yang masuk 10 besar," imbuh Febby.
Di balik reputasi itu, selama ini tim nasional berkiprah secara mandiri: pendanaan, manajemen dan seleksi pemain. Keinginan besar untuk ikut dalam Homeless World Cup telah tumbuh sejak 2010. Sayangnya, gairah itu mesti pupus di tengah jalan karena tidak mampu mengirim tim nasional berlaga.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, tim nasional 2014 mesti berlatih dan mengembangkan diri dalam keterbatasan. "Kendala terbesar memang dana," Febby menegaskan. Sebagai manajer tim, dia mengurus segala hal di luar lapangan: menggalang pendanaan, promosi, dan memastikan keberangkatan tim.
Bila dibandingkan dengan negara lain, tim nasional Indonesia sungguh serba terbatas. Tanpa pedampingan medis, psikolog dan terapis. "Tim Inggris misalnya, didampingi psikolog dari Manchester United. Bahkan di seragam tim ada gambar bendera dan logo federasi sepakbola nasionalnya. Jadi benar-benar berasa 'Piala Dunia'," kisah Febby.
Makin mendekati Homeless World Cup 2014 pada Oktober, tim nasional terus memompa diri: fisik, mental, teknik, dan harapan bagi perubahan. Manajer tim juga memantapkan diri: galang dana, dukungan dan memastikan tim nasional berangkat untuk kembali mengukir prestasi.
Selama tiga tahun ini, PT Pertamina EP turut menyokong tim nasional untuk berlaga di Homeless World Cup. Atas nama masa depan bangsa, dukungan PT Pertamina EP untuk memberi kesempatan bagi kaum muda mereguk prestasi dan perubahan.Pada anak bangsa itulah masa depan kehidupan negeri ini bertumpu. Terjerembab dalam kubangan narkoba dan mengidap HIV bukanlah akhir dari perjalanan hidup.
Buktinya terpampang di komunitas Rumah Cemara yang tak lekang membantu putra-putri Indonesia menatap masa depan.
_______________________________________________________________
Kisah tentang Rumah Cemara dapat dinikmati secara lengkap melalui sisipan kemitraan National Geographic Indonesia - PT Pertamina EP dalam edisi Oktober 2014