Indonesia Tanpa Stigma

By , Senin, 29 September 2014 | 08:00 WIB

Tak jauh dari Pesantren Daarut Tauhid yang dibina Abdullah Gymnastiar, di halaman sebuah rumah membentang spanduk ‘Mangprang Rasa Jaya’. Di bawahnya tertera tulisan mungil ‘Indonesia Tanpa Stigma’ yang berwarna merah.

Kala makan siang tiba, pembeli datang berjejalan. Dalam relasi yang terjalin di kedai itu, kehidupan Indonesia tanpa stigma mewujud subtil.

Sejumlah mantan pecandu dan pengidap HIV/AIDS membaur dengan para pengunjung warung. Bersama-sama menyantap makanan dan minuman segar.

Rajah di dada Aditya Siregar menggambarkan wajah kedua orang tuanya. Dia sedang berjuang menurunkan berat badannya, agar lincah bertinju. Aditya berlatih di Sasana Tinju Rumah Cemara, Bandung bersama mantan para pecandu lainnya. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Kehidupan bersenyawa alamiah. Tak ada stigma: cap negatif atau olok-olok. Tak ada pula diskriminasi, membedakan peranti makan ataupun sekat ruangan.

Ide Indonesia tanpa stigma bagi mantan pecandu narkotika dan pengidap HIV/AIDS, memang tumbuh dari Rumah Cemara yang mendiami bangunan utama di Jalan Gegerkalong Girang no. 52 tersebut.

Lima pemuda: Darwis, Ginan, Ikbal, Patri dan Tanto, pada 1 Januari 2003 mulai mendirikan Rumah Cemara.

Salah seorang pendirinya, Ginanjar Koesmayadi mengisahkan, tujuan Rumah Cemara sangat sederhana. “Kami yang pulih dari kecanduan narkoba ingin punya komunitas,” tutur Ginan, sapaan akrabnya.

!break!

Mereka meyakini pemulihan mesti bermula dari perubahan di dalam komunitas itu sendiri. Rumah Cemara juga menjadi tempat singgah bagi mereka yang pernah bersentuhan dengan narkoba. Nama Rumah Cemara terilhami dari sinetron Keluarga Cemara yang pernah tayang di televisi swasta nasional pada 1996.

Pada tahun pertamanya, usai mendirikan pusat perawatan, para pendiri juga menyadari pecandu amat rentan terhadap infeksi HIV/AIDS. Ini terutama bagi para pengguna narkoba suntik (penasun) yang kerap memakai satu jarum beramai-ramai.

Dari ujung jarum bekas itulah virus perontok kekebalan menjalar ke dalam tubuh pecandu. Lantas, dibentuklah Bandung Plus Support buat mendampingi orang dengan HIV/ AIDS.

Langkah awal inilah, yang satu dekade kemudian, membentangkan upaya panjang merontokkan stigma dan diskriminasi.

Rumah Cemara bertumpu pada dua divisi: pelayanan dan penggalangan (resource mobilization). Divisi pelayanan diberikan secara individu, kelompok dan melalui tempat rehabilitasi.

Direktur Rumah Cemara Anton Djajapawira menyatakan, layanan individu berupa pendampingan sebaya terhadap pecandu dan pengidap HIV/AIDS. Para pegiat Rumah Cemara saban hari mendampingi pecandu yang turut serta dalam terapi Methadone di Rumah Sakit Hasan Sadikin.