Sejenak saya terdiam memandangi layar ponsel. Sebuah nama muncul di daftar kontak, Susi Kilo 10. Kenangan akan dirinya saat kunjungan saya ke Tanah Papua, mulai muncul.
Susi (bukan nama sebenarnya) menghapus air matanya. Saya pun terdiam, tumbuh empati kepadanya. Susi adalah seorang Pekerja Seks Komersial dengan HIV di tubuhnya, yang bekerja di Kilo 10, Timika, Papua. Kilo 10 adalah wilayah prostitusi di Timika, dengan tingkat infeksi HIV/AIDS yang sangat tinggi.
Malam itu, didorong rasa penasaran, saya memberanikan diri menyambangi Kilo 10, berharap dapat berbincang dengan salah seorang dari para penjaja seks tersebut.
Beruntung Susi, yang sudah lima tahun bekerja di sana, bersedia bercerita tentang keadaannya kepada saya. Isak tangisnya mewarnai perbincangan kami. Kerinduannya pada kampung halaman di Pulau Jawa dan kepada kedua anaknya, menjadi pemicu isaknya. Himpitan ekonomi, menjadi alasan ia tetap bertahan ditempat ini. Susi mengaku tertular di tempat ini. Saat ini ia sedang mengumpulkan tabungan yang cukup untuk pulang dan membuka warung di kampungnya.
Kemudian berhati-hati saya bertanya tentang kondisinya yang sudah terdiagnosis HIV, bagaimana ia menyikapinya terkait pekerjaan sebagai PSK. Susi pun mengaku saat menerima tamu ia tidak menceritakan kondisinya, namun memaksa tamu untuk menggunakan pelindung atau kondom. Bila sang tamu menolak, Susi tidak akan melayani.
Walau prihatin dengan kondisi Susi, rasa lega terbersit dalam diri saya. Sebagai seorang dokter, mencegah penularan HIV/AIDS sama pentingnya dengan penyakit itu sendiri. Saya berharap, apa yang dikatakan Susi benar adanya, sehingga setidaknya ia tidak menularkan kepada orang lain.
Saya meninggalkan Kilo 10 saat tempat tersebut mulai ramai pengunjung, dengan sejuta rasa berkecamuk dalam benak. Melihat langsung apa yang para pekerja seks komersial hadapi setiap malam, memberi ujian tersendiri bagi saya sebagai dokter.
Saya merasa selama ini cukup mampu mengesampingkan segala rasa yang muncul saat berhadapan dengan pasien di ruang praktik demi memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal. Namun sebagai seorang wanita, berada di antara para pekerja seks komersial, di wilayah kerja mereka pada malam hari, dengan pelanggan lalu lalang menggoda dan digoda para pekerja seks komersial, ternyata mempengaruhi saya.
Saya merasa kepala saya penuh dengan pertanyaan yang bercampur dengan kekesalan. Rasa kesal atas pekerjaan yang mereka lakukan, adalah yang utama. Sulit bagi saya untuk mengerti, mengapa mereka bertahan dalam kondisi ini, yang memiliki risiko penularan penyakit mematikan seperti HIV/AIDS, dengan pendapatan yang bisa dibilang tidak seberapa dibandingkan dengan risiko tinggi yang mereka hadapi.!break!
Sejujurnya, ada sebagian dari diri saya saat itu yang menolak untuk perduli terhadap kesehatan mereka. Saya untuk sesaat merasa ini adalah pilihan mereka dan sudah seharusnya mereka mempertimbangkan risikonya. Saat itu bagi saya, menolong mereka terasa membuang-buang waktu, karena bagi saya mereka memilih untuk tetap melakukan pekerjaan ini.
Namun isak tangis Susi menahan saya yang hampir beranjak dari kamar itu. Penyesalannya yang dalam dan keluhan-keluhan yang ia sampaikan tentang kondisi tubuhnya setelah terinfeksi HIV, segera menyadarkan saya akan peran saya sebagai pemberi layanan kesehatan.
Seketika rasa sesal menyusup kalbu, diikuti rasa khawatir sejawat saya yang lain juga memiliki pikiran yang tidak mulia tadi. Bila semua dokter berpikiran seperti saya tadi, maka siapa yang akan memberikan pelayanan kesehatan bagi Susi dan teman-temannya?
Saya menyadari, pilihan hidup Susi, tidak seharusnya mengaburkan niat seorang pemberi pelayanan kesehatan untuk memberikan pelayanan yang baik.