Para bapak dan ibu pendiri Republik Indonesia, bahkan para pujangga Nusantara, sudah berpikir filosofis dengan caranya masing-masing. Terutama sejak dilaksanakannya "politik etis" oleh Belanda mereka berkenalan dan akrab dengan filsafat Barat. Mohammad Yamin, Hatta, Soekarno, Sjahrir, Soepomo, Tan Malaka, Kartini, Sam Ratulangi, Soenaryo, S Takdir Alisjahbana, Driyarkara, Soedjatmoko, sedikit saja nama-nama dari banyaknya pemikir kita yang dari tulisan-tulisan mereka jelas bergelut dengan filsafat Barat. Sampai sejauh mana keterpengaruhan filsafat Barat dalam membangun "keindonesiaan" itu jelas masih butuh interpretasi-interpretasi intertekstual secara intens.
Konsep republik, revolusi, batang tubuh UUD 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan lain-lain tentu tak jatuh langsung dari langit. Semua itu merupakan pergumulan pemikiran filosofis dalam kurun waktu cukup lama dan sinkretik, dari berbagai fragmen kebijakan suku-suku, agama, ras, dan filsafat Barat.
Tak terelakkan negara dan bangsa Indonesia berdiri di atas semangat pluralisme. Bhinneka Tunggal Ika merupakan rumusan filosofis yang begitu terbuka untuk didalami, menyimpan benih yang sangat mungkin menjelma sebagai filsafat sistematik, akademis, dan tentu ideologis. Namun, sekaligus banalitas akan begitu saja muncul dari sana jika kita hanya membaca atau memaknainya sekadar slogan politik dan 'artefak' dengan perspektif budaya yang sempit.
!break!Indonesia sebagai negara kesatuan dari dasar bangunan sinkretik-pluralisme adalah sebuah kata kerja. Kesadaran historik kenusantaraan hingga kini senantiasa ditandai oleh konsep "menjadi". Pluralisme menunjukkan sebuah kesadaran kosmologis bangsa sebagai ketersediaan ruang-ruang untuk bebas bergerak, berekspresi, berkarya, dalam merawat konsep "menjadi" itu.
Filsafat sistematik dan akademis sangat dibutuhkan dalam merawat pluralisme karena dari disiplin ini kita diajak untuk mengkritisi keberagaman kesadaran kosmologis yang historik itu. Membangun filsafat sistematik bernapaskan pluralisme menjadi filsafat Indonesia bukanlah harapan kosong atau mengada-ada. Dari bapak dan ibu bangsa, tradisi itu sebenarnya sudah ditebar, disemai, dan dipetik, bahkan memanennya sebagai negara-bangsa yang berdaulat.
Filsafat pluralisme bagi sebuah negara di sini bukanlah identik dengan negara sebagai lembaga formal-pemaksa yang memegang otoritas penuh bagi keberlangsungan hidupnya. Filsafat sistematik yang bernapaskan pluralisme beroperasi dan hidup dalam masing-masing pemikiran personal maupun komunitas, sebagai fragmen-fragmen kewilayaan. Kesadarannya hadir dalam kebersamaan yang terus saling menyapa dan memberdayakan.
Bagaimanapun, filsafat pluralisme bagi Indonesia, sama halnya dengan kesadaran negara dan bangsa lain, bukanlah bentangan jalan yang mulus.
Tepatnya konsep pluralisme adalah sebuah taruhan menghadapi kemungkinan konflik-konflik yang tak terhindarkan. Namun dengan pluralisme itulah kita tertantang menjadikannya potensi kreatif, bukan serta-merta menghindar, apalagi melenyapkannya dengan alasan ancaman bagi kesatuan.
Filsafat sistematik di sini kita maknai sebagai konsep sinkretisme dan pluralisme. Simposium Internasional Filsafat Indonesia sekiranya bisa memunculkan kesadaran bagi kebutuhan metodik untuk mendalami lebih jauh lagi makna filsafat ini.