Empat biduanita yang bersolek seperti petani paruh baya berlenggak-lenggok di tengah petani. Pertunjukan dimulai dengan tembang pangkur, dari Serat Wedatama yang konon ditulis Mangkunegara IV. Dimulai dengan kalimat mingkar mingkuring angkoro, syair tembang ini berisi falsafah kehidupan, seperti hidup bertenggang rasa, menjadi manusia seutuhnya, dan orang berwatak ksatria.
Dialog-dialognya pun segar dan kontekstual sehingga menggugah penonton antusias menyahutinya, ”Anakku, putuku, bakale manggon ning endi? Lemahku mung sak cuil, kuwi wae arepo diiris-iris? Opo iyo jarene awake dewe negoro agraris, ning wis ora bakal nduwe beras? Awake dewe arep mangan opo? Aku arep manggon ning endi?” (Anakku, cucuku, bakal tinggal di mana? Tanahku hanya sedikit, itu pun bakal kalian ambil? Apa iya negara kita masih agraris, tetapi nanti bakal tidak punya beras lagi? Kita mau makan apa? Mau tinggal di mana?).
Para petani itu bersorak. Sebagian tertunduk. ”Saya mbrebes mili (menangis) menyaksikan semangat perlawanan petani di sini,” kata Bondan, sore hari seusai dialog. ”Kita mungkin akhirnya kalah, tetapi harus terus melawan karena Sedulur Sikep ini mungkin benteng terakhir perlawanan warga di Jawa.”
Seperti dikatakan Hendro Sangkoyo, perlawanan petani Kendeng itu bukan hanya mencerminkan konflik antara pengusaha semen dan Sedulur Sikep. ”Namun, kapital global melawan laku sikep. Ini etika kehidupan Sedulur Sikep, juga petani, yang hidup dari tanah dan air, melawan kapital global yang hanya peduli pada keuntungan usaha mereka,” katanya.