Pengubur Jenazah Ebola di Sierra Leone: Ini Tak Mudah

By , Kamis, 6 November 2014 | 14:11 WIB

Saat Mariatu Kagbo keluar rumah dan berjalan menuju jalan besar, sejumlah orang berteriak, "Ebola!"

Teriakan itu mungkin hanya ejekan, tetapi bisa juga mewakili ekspresi ketakutan yang ada di dalam hati orang-orang di Old Wharf, wilayah pinggiran ibu kota Sierra Leone, Freetown.

Ketakutan bahwa Kagbo bisa membawa virus itu ke rumah-rumah warga karena dia bekerja sebagai pengubur jenazah pasien Ebola.

"Mereka menghina saya. Kadang mereka melakukan kekerasan," kata Kagbo, perempuan berusia 37 tahun, ibu enam anak, yang menjadi relawan Palang Merah.

"Mereka bisa berbicara sesukanya. Tetapi saya berbicara pada diri sendiri, jika bukan saya yang melakukannya, siapa lagi?"

Setelah setengah jam berdesakan duduk di angkutan umum, Kagbo bertemu dengan koleganya Waterloo — salah satu kota yang terkena dampak terburuk Ebola.

"Dua meninggal," kata atasannya saat mereka naik mobil menuju desa terdekat Tombo.

Warga telah berkumpul di luar sebuah rumah kecil di dekat tepi air. Beberapa wanita yang meratap.

Seorang pria mendekati mereka dan mengatakan bahwa orang lain telah tertular.

"Kami hanya datang untuk yang mati," kata salah seorang anggota tim.

Butuh sekitar 10 menit untuk Kagbo dan semua kolega pria untuk mengenakan pakaian pelindung, sarung tangan, dan kaca mata.

Mariatu Kagbo (Foto via BBC)

"[Baju] itu panas. Saya berkeringat. Saya minum banyak sekali air. Tetapi saya terbiasa, saya sudah takut untuk masuk ke dalam. Kami memiliki pelindung yang bagus," katanya.

Kagbo adalah orang pertama yang masuk ke rumah.