“Apabila pulau kami ini habis, habis pula kami,” ujar Abdul Manan yang resah lantaran kebakaran gambut di desanya. Lelaki 41 tahun itu merupakan warga Pulau Tebing Tinggi, salah satu daratan gambut yang berada di Provinsi Riau.
Gambut merupakan tanah lunak dan basah, terdiri atas lumut dan bahan tanaman lain yang membusuk atau melapuk, biasanya terbentuk di daerah rawa atau di danau dangkal.
Manan berkisah, pada Januari hingga Maret tahun ini warganya mengalami kebakaran lahan yang luar biasa. Dia menduga kobaran api yang tak kunjung padam itu berawal dari pembangunan kanal-kanal perusahaan perkebunan yang ditujukan untuk mengeringkan lahan gambut. Awalnya, kawasan gambut di daerah Manan merupakan rawa yang selalu tergenang air. Namun, kanalisasi telah mengalirkan air rawa ke laut sehingga tingkat air rawa turun hingga satu meter lebih. “Inilah yang mengakibatkan daerah kami kebakaran,” ungkapnya.
Bersama warga desa, Manan pun turut terjun langsung ke lapangan untuk memadamkan api yang berkobar sekitar dua bulan dan telah menghanguskan 5.000 hektare kebun milik warga dan perusahaan. “Saya mengamati,” ujarnya, “jika gambut kering ini terbakar, apinya susah untuk dipadamkan. Baranya bisa mencapai satu meter lebih di dalam tanah!”
Pada Selasa, 28 Oktober 2014, Walhi, Yayasan Perspektif Baru, dan Greenpeace Indonesia menggelar konferensi pers di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. Mereka menyerukan permasalahan kebakaran hutan dan lahan gambut yang tak kunjung berakhir selama 17 tahun terakhir ini.
“Ironisnya, yang sangat memprihatinkan, ini bukan bencana alam, melainkan produk kebijakan komersial yang ditunjang pemerintah,” ujar Haris Gunawan, Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau. “Di Riau kini setahun hanya ada sembilan bulan karena tiga bulan semua orang masuk ke dalam rumah—karena asap.”
Dia juga mengungkapkan salah satu ekosistem yang paling rapuh adalah gambut. Indonesia memiliki luas lahan gambut tropis terbesar dan terdalam di dunia dengan rata-rata kedalaman 8-10 meter, demikian paparnya.
“Ironisnya, yang sangat memprihatinkan, ini bukan bencana alam, melainkan produk kebijakan komersial yang ditunjang pemerintah,” ujar Haris Gunawan
Gambut berfungsi untuk mengontrol iklim dan menyimpan karbon, demikian hemat Haris. Riau tidak ada gunung, namun gambut bermanfaat karena menyimpan air dalam jumlah yang luar biasa. Selain itu, di kawasan gambut tercipta mega biodiversitas.
Menurut Haris, kebakaran hutan dan lahan gambut ini telah mendera enam presiden—setelah Soekarno—dan masih berlanjut hingga sekarang. Berdasarkan data yang diolah dari BNPB, Haris memaparkan fakta dan tafsiran dampak kebakaran hutan dan lahan di Riau selama 2014: Kerugian lebih dari Rp 15 triliun! Lebih dari 2.300 hektare cagar biosfer terbakar, hampir 22.000 hektare lahan terbakar, 58.000 orang terserang ISPA, sekolah diliburkan selama seminggu. Juga, biaya pengendalian lebih dari Rp150 miliar.
“Selama 1997-2014 tidak ada aksi yang komprehensif. Bedanya kita sekarang mempunyai presiden yang bekerja-bekerja-bekerja,” ujar Haris sembari berharap kepada kepemimpinan baru ini.
Longgena Ginting, Kepala Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa total titik api di Indonesia pada 2014, sampai dengan 27 Oktober 2014 adalah 79.443 titik api! Di samping meninjau ulang semua konsesi lahan gambut yang diberikan pemerintah kepada perusahaan swasta, menurut Longgena, “solusinya berupa penyelamatan lahan gambut dan membasmi akar penyebab kebakaran.”
Sementara itu Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, mengungkapkan pendapatnya bahwa keputusan pemerintah untuk mengeksploitasi lahan gambut lewat pemberian hak konsesi lahan merupakan suatu kesalahan. Menurut catatannya, Indonesia tidak pernah sukses dalam mengeksploitasi lahan gambut.
Pemerintah sebelumnya tidak menunjukkan kemajuan dalam penuntasan masalah kebakaran hutan dan lahan, demikian hemat Abetnego, karena tidak menyelesaikan permasalahan mendasarnya.“Salah satu indikator kesuksesan Jokowi tahun depan adalah,” ujar Abetnego sambil berharap, “Indonesia tidak ada lagi asap.”