Bermula dari Desa TKW, Kini Menjadi Desa Wisata Batik

By , Jumat, 7 November 2014 | 08:45 WIB

Banyaknya perempuan Kabupaten Kendal Jawa Tengah, yang menjadi tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri, membuat Sri Lestari (34), warga Jambearum Patebon Kendal, prihatin.

Berangkat dari keprihatinannya tersebut, wanita yang bekerja di Dinas Perindustrian dan Perdagangan ini, mencoba mengurangi banyaknya perempuan Kendal yang menjadi TKW. Salah satunya dengan memberi keterampilan pada ibu-ibu yang ada di desa Jambearum Patebon.

"Apalagi dengan adanya berita 2 TKI yang dibunuh di Hongkong. Ini sangat mengerikan," kata Lestari, Kamis (6/11).

Lestari menjelaskan, hampir setiap rumah yang ada di desanya, Jambearum, selalu ada keluarganya yang menjadi TKW. Hal itu sangat memprihatinkan. Apalagi, anak-anak yang ibunya menjadi TKW, menurut Lestari, lebih cenderung kurang terurus.

"Saya prihatin dengan kondisi itu. Lalu saya mencoba memberi pelatihan ketrampilan pada ibu-ibu yang ada di desa Jambearum," ujarnya.

Awal pelatihan yang diberikan untuk ibu-ibu, adalah menjahit. Sebab ada salah satu warganya yang bisa menjahit. Namun karena tidak ada mesin jahit untuk mendukung pelatihan, lalu diganti menjadi pelatihan membatik.

Kebetulan, pada tahun 2010, di Dinas tempat Lestari bekerja, ada program pelatihan membatik. "Yang ikut, awalnya cuma satu ibu bernama Asri. Tapi, kemudian saya dengan Asri mengumpulkan ibu-ibu yang lain, untuk member keterampilan membatik," akunya.

Hasilnya, cukup menggembirakan. Sebab ada banyak ibu-ibu yang tertarik untuk menekuni ketrampilan membatik. Apalagi, pemerintah Kabupaten Kendal, sedang giat-giatnya memperkenalkan batik Kendal kepada masyarakat.

"Sekarang di desa Jambearum, sudah ada 15 pembatik, 3 diantaranya penjahit yang membuat pakaian batik," ucapnya.

Jambe Kusuma 

Sri Lestari mengaku, cukup sulit menyadarkan ibu-ibu supaya tidak berangkat ke luar negeri untuk menjadi TKW. Namun begitu, ia akan terus berusaha, supaya niatnya untuk mengurangi TKW di desanya bisa berkurang.

"Niat yang baik, Insya Allah akan menghasilkan sesuatu yang baik. Untuk itu, saya akan terus berusaha," tambahnya.

Lestari menceritakan, sekarang ini sudah ada beberapa TKW, yang pulang ke rumah dari luar negeri dan tidak mau berangkat lagi. Mereka memilih menjadi pembatik. Apalagi, mereka sudah merasakan, hasil dari membatik. "Tapi masih banyak juga, yang pulang lalu berangkat lagi menjadi TKW," akunya.

Batik buah karya warga Jambearum itu, kata Lestari, diberinama batik Jambe Kusuma.

Lantaran ketekunan ibu-ibu dalam melestarikan kain yang menjadi citra kepribadian bangsa tersebut, April 2013 lalu, desa Jambearum di tetapkan sebagai desa batik oleh Dirjen Kementerian Pariwisata dan Dinas Pariwisata Jateng. Pasalnya, di desa itu, saat ini sudah terproduksi, berbagai batik.

Mulai dari berbagai jenis batik berikut motifnya, hingga pakain motif batik. Selain itu, juga pernak-pernik batik seperti, sapu tangan, tempat tisu, dasi, tutup nasi, taplak dan lainnya.

Batik buatan desa ini, sudah dijual ke berbagai daerah di Indonesia, bahkan diekpor ke beberapa negara tetangga. "Memang sejak awal niat kami membatik sebenarnya untuk mengurangi warga Jambearum untuk jadi TKW dan meningkatkan ekonomi keluarga. Jadi bukan untuk mendapatkan gelar Desa Wisata," kata Sri Lestari, yang juga menjadi ketua Paguyuban Batik Jambearum.

Kegigihan Lestari dalam mengembangkan batik di desanya, juga mendapat perhatian khusus dari Bupati Kendal, Widya kandi Susanti. Sehingga ibu 2 anak ini, mendapat penghargaan Bupati Award.

"Tak hanya mendapatkan gelar Desa Wisata, Desa Jambearum juga dijadikan sebagai desa vokasi. Yakni desa yang bisa dijadikan tempat untuk belajar oleh desa lain," kata Lestari.

Setelah mendapat berbagai gelar tersebut, desa Jambearum banyak mendapat bantuan. Mulai dari pemerintah Kabupaten hingga Dirjen Kementrian Pariwisata. Namun, diakuinya untuk berkembang sebagaimana desa wisata yang utuh, saat ini Jambearum masih sangat jauh. Sebab, belum terpenuhinya sarana dan prasarana yang layak untuk jadi Desa Wisata.

"Plang pintu masuk bertuliskan Desa Wisata Batik juga belum ada, Pengelolaan secara profesional sebagai tempat wisata juga belum dibentuk. Disamping itu, juga belum ada promosi akan desa ini, ke berbagai daerah maupun negara-negara lain," akunya.

Dampak positif menekuni usaha batik, diakui oleh salah satu warga Jambearum, Sugiarti,( 32). Ia mengaku terbantu dengan adanya kegiatan batik yang ia tekuni. Sugiarti mengaku, dulunya ia adalah buruh pabrik, yang setiap hari meninggalkan rumah untuk bekerja di pabrik.

Namun setelah menekuni batik, kini ia bisa konsen di rumah dengan membatik. Satu batik tulis, yang ia hasilkan, bisa terjual dengan harga Rp 225.000-Rp 300.000 per lembarnya. Waktu pengerjaannya, sekitar 2-3 hari.

"Modal awalnya sekitar Rp 100.000-Rp 130.000 untuk satu kain batik. Jadi dalam sebulan saya bisa mengerjakan 10-12 kain batik tulis. Keuntungan saya Rp 1,7 juta-Rp 2 juta per bulan," akunya.

Keuntungan tersebut, menurutnya, jauh lebih baik kalau dibandingkan harus kerja di pabrik, atuapun kerja jadi TKW. Sebab kerja jadi buruh pabrik maupun TKW tidak bisa dekat dan mengurus pekerjaan rumah tangga.

Ia berharap kepada pemerintah membantu mempromosikan desa Jambearum sebagai desa wisata. Dengan begitu, batik yang dihasilkan oleh ibu-ibu Jambearum, bisa semakin banyak terjual.